MEMBUMIKAN AKHLAK MULIA DI INSTITUSI PENDIDIKAN
"Karakter seorang anak terbentuk terutama pada saat dia berusia 3 hingga 10 tahun. Adalah tugas kita sebagai orang tua untuk menentukan input seperti apa yang masuk ke dalam pikirannya, sehingga bisa membentuk karakter anak yang berkualitas"- Sonny Vinn –
Guru adalah sosok yang mampu membentuk karakter pemimpin masa depan. Karena kemajuan masa depan bangsa tidak lepas dari peran seorang guru. Gurulah sosok yang mampu mencerdaskan dan membimbing anak bangsa menuju cita-citanya yang mulia.
Namun sangat disayangkan, guru yang sejatinya mampu memberikan kontribusi terhadap progresifitas bangsa, justeru terkadang tercemari oleh perilaku oknum yang tidak sepantasnya dilakukan oleh seorang guru, yakni tindak kekerasan pada anak didik.
Berdasarkan data Republika (24/10/2008) dinyatakan bahwa kekerasan terhadap anak diduduki oleh guru sebagai peringkat tertinggi. Hal ini didasarkan dari catatan Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI), bahwa kekerasan terhadap anak yang dilakukan oleh pendidik atau guru justru yang tertinggi. Penelitian KPAI selama enam bulan pada tahun 2008 sudah tercatat 86 kekerasan terhadap anak. Yang mengherankan, justru 39% kekerasan dilakukan orang terdekat, khususnya guru. Sementara data yang diperoleh pada tahun 2007, tercatat 555 kekerasan terhadap anak. Dan yang mengagetkan, sebanyak 11,8% kekerasan justru dilakukan oleh guru terhadap anak-anak muridnya. Data tersebut sungguh mengejutkan. Guru yang sejatinya sebagai pembentuk karakter bangsa, justeru mengajarkan kekerasan terhadap anak didiknya.
Begitupun anak didik yang sejatinya mencerminkan kependidikannya, justeru terkadang sebaliknya; tawuran antar siswa - yang terkadang sebagian mereka membawa senjata tajam, sikap anarkis mahasiswa, tawuran antar mahasiswa dan kenakalan-kenakalan lainnya yang dilakukan oleh para penuntut ilmu. Hiruk pikuk perilaku pelajar yang menyimpang dari norma-norma kehidupan sosial seperti ini, tidak lepas bahwa dunia pendidikan secara tidak sadar juga mempunyai andil ikut menanamkan saham perilaku tersebut.
Karena itulah, melihat fenomena ini, pemerintah berinisiatif mencanangkan gerakan nasional akhlak mulia. Gerakan akhlak mulia yang dimaksud adalah menggerakkan pendidikan berbasis moral yang berlaku bagi semua masyarakat dan perilaku tersebut harus dimulai dari sekolah.
Dunia pendidikan tidak bisa hanya diinterpretasikan sebagai tempat mengais rejeki saja dan hanya menekankan pengajaran keilmuan saja, melainkan mendidik dan menanamkan nilai-nilai kehidupan yang bermakna adalah sangat penting untuk menghindarkan pelajar dari malapetaka kehidupan.
Harus ada budaya di sekolah yang mencerminkan dan menanamkan akhlak mulia ke dalam internalisasi nilai-nilai di sekolah. Budaya sekolah (school culture) bisa dimulai dengan melakukan kebiasaan-kebiasaan santun. Dari kebiasaan itu akan membentuk tradisi, kemudian menjadi budaya sebagai pembentuk peradaban.
Semua perilaku aktif dan pasif merupakan bagian dari pembentukan budaya sekolah. Ruang batin anak di sekolah harus diisi oleh gurunya. Guru tidak cukup hanya mengajarkan tetapi harus melakukan keteladanan. Jadi guru harus melakukan keteladanan kepada anak didiknya selama berada di sekolah. Pentingnya akhlak mulia ini sangat ditekankan dalam Undang-undang Sistem Pendidikan Nasional No. 20 tahun 2003.
Membumikan Akhlak Mulia Melalui Habits Forming
Nilai-nilai moralitas di sekolah tidak begitu saja hadir dengan sendirinya. Ia butuh proses yang perlu dilaksanakan oleh semua citivas academika institusi pendidikan. Proses ini secara sadar dan penuh tanggungjawab dilakukan oleh semua individu, terutama guru. Karena gurulah sosok sentral yang akan dilihat, dipandang dan dicontoh oleh anak didiknya. Proses yang dilakukan adalah melalui kegiatan Habits Forming, yaitu kegiatan berupa pembiasaan hidup positif, yang dilatihkan kepada anak didik yang terinspirasi dari buku “The Seven Habits Highly Effective People” karya Steven R Cover.
Kenapa harus guru sebagai teladan? Kita pernah mendengar sebuah istilah dalam dunia fauna "Monkey See, Monkey Do", yang berarti seekor monyet biasanya akan bertindak berdasarkan apa yang telah dilihatnya. Atau istilah “air cucuran atap jatuhnya ke pelimbahan juga” yang berarti apa yang diajarkan oleh orang tua atau guru, akan masuk ke dalam memori dan perilaku anak.
Begitulah karakteristik seorang anak. Perilaku anak terbentuk melalui proses pembelajaran sosial (social learning process) terutama melalui mekanisme imitasi (modeling). Imitasi adalah mekanisme pembelajaran dengan cara menirukan, mencontoh dari model yang dilihat, didengar dan dipersepsikannya. Guru sebagai model adalah obyek yang paling dekat untuk ditiru oleh anak didik. Oleh karena itu guru sebagai prime model bagi pembelajaran anak harus ektra dan super hati-hati dalam berucap, berperilaku dan bertindak di hadapan anak didiknya. Kita perlu selalu ingat bahwa anak adalah imitator ulung yang tiada taranya. Dengan kata lain, dalam proses tumbuh kembang anak, guru harus mampu menjadi uswah khasanah (suri tauladan) bagi anak didiknya.
Karena itulah anak perlu figur seorang tokoh yang dikagumi, yang akan ditiru di dalam tindakan sehari-harinya. Pilihan utamanya biasanya akan jatuh pada orang tua dan guru. Dan seorang anak akan lebih percaya pada apa yang dilihat daripada apa yang dikatakan orang tua atau gurunya.
Jadi saat mengatakan suatu nasehat, misalnya jangan terlambat masuk ke sekolah, tapi gurunya sendiri telat datang ke sekolah atau dilarang merokok, justeru gurunya dengan leluasa merokok di dalam kantor atau bahkan mengajar sambil merokok, jelas ini bukan cara mendidik yang baik. Ajarkan sesuatu melalui contoh yang baik, dengan tindakan kita sendiri, akan membuat anak meniru dan mengembangkannya menjadi suatu kebiasaan dan karakter di dalam pertumbuhannya.
Yang pasti, apa pun yang dilakukan guru jelas akan menularkan sikap tertentu yang akan ditiru siswa-siswanya. Guru yang semangat, tentulah akan menularkan semangat pada siswanya. Begitu pula guru yang pesimistis, tentu akan mendapatkan siswanya dalam keadaan pesimistis. Guru yang bijak dan empatik justeru akan menular kepada murid-muridnya, begitupun sebaliknya; guru yang galak dan kasar, suka mengejek, suka memaksa, sering menghukum dan mengancam, justeru akan melukai perasaan anak yang pada akhirnya melahirkan anak yang mempunyai sifat pemberontak, pemarah, pendendam, pesimis dan sifat-sifat negatif lainnya.
Maka, seorang guru hendaknya memiliki karakter dan kepribadian yang baik dan mengajarkan sesuatu yang bernilai kebaikan. Tidak hanya itu, akan tetapi juga menjalankan, mengamalkan, dan mempraktikkannya. Guru juga hendaknya bersikap profesional, yaitu menjadi pembelajar aktif, dalam artian mau belajar dengan sungguh-sungguh, serius, efektif dan efisien serta memiliki kompetensi atau keahlian di bidangnya.
Dalam membentuk habits forming atau pembiasaan-pembiasaan yang baik dan bernilai, budaya-budaya seperti berikut ini sangatlah baik bila dilakukan oleh semua elemen citivas academika. Budaya tersebut adalah: “FOR CHILDREN” yang berarti Fleksibel (tidak kaku), Optimis (yakin), Respek (menghargai), Cekatan (terampil), Humoris (gembira/semangat), Inspiratif (banyak ide), Lembut (penuh kasih sayang), Disiplin (serius), Responsif (cepat tanggap), Empatik (peduli), dan Nge-friend (bersahabat).
Karenanya, habits forming seperti itu perlu terus ditanamkan dan dipupuk di tengah-tengah anak didik. Sehingga nilai-nilai baik itu bukan hanya sekedar wacana dan melangit, tetapi juga sudah membumi dan terinternalisasi dalam semua elemen yang ada di institusi pendidikan.
Memang, sudah saatnya kita merubah metode mendidik anak yang sebelumnya menggunakan bahasa perintah, larangan dan ancaman dalam memberikan nasehat menjadi bahasa yang baik, santun dan menyejukkan yaitu bahasa hati. Sebagaimana dalam firman Allah, al-Qur’an surat an-Nahl (16) ayat 125, “Serulah (manusia) kepada jalan Tuhan-mu dengan hikmah dan pelajaran yang baik dan bantahlah mereka dengan cara yang baik…,”
Kita tentunya masih ingat apa yang dikatakan orang tua kita, “bahasa yang dikeluarkan dari hati maka akan masuk ke dalam hati”. Karena itu, seorang guru sepatutnya dan semestinya mengajarkan anak didiknya dengan bahasa hati bukan emosi. Sehingga guru benar-benar “digugu lan ditiru” diikuti dan ditiru oleh anak didiknya karena kebaikan-kebaikannya, bukan malah “diguyu lan turu” diketawai dan tidur. Diketawai karena perilaku negatifnya, dan tidur karena tidak menariknya mata pelajaran yang diajarkan, menjenuhkan dan membosankan.
Semoga dengan membumikan nilai-nilai moralitas di institusi pendidikan ini, akan menghantarkan anak didik menjadi seseorang yang bermartabat dan bermoral ketika kelak menjadi seorang pemimpin. Amin ya mujiibassaailin. Wallahu a’lam bishowab.