MOST RECENT

|

Negeri Impian

Bukan salahmu nak engkau terlahir dari bunda Indonesia dan ayah Belanda dan bukan salah ayahbundamu juga tapi itulah suratan takdirmu yang telah diatur oleh yang Maha Pengatur.
Memang waktu engkau di kandunganku, segala cita-cita dan impianku sangatlah muluk. Aku ingin mendidikmu dengan budaya negeriku yang kaya dengan nilai-nilai adiluhung, yang kuanggap terbaik dari nilai budaya ayahmu. Aku ingin walaupun engkau terlahir dan dibesarkan di negeri dengan sejuta tulip ini, engkau tetap anak Indonesia dengan adat dan budaya Indonesia. Memang itu mungkin terlalu muluk buatmu.
Waktu kau masih dalam buaian, kuninabobokan kau dengan lagu-lagu kebangsaanku. ‘Rayuan Pulau Kelapa’, ‘Indonesia Pusaka’ dan ’Tanah Airku’ selalu menghantarkanmu ke alam mimpi indah negeri zamrud khatulistiwa.
Waktu kau mulai bisa berkata kuajarkan kau bahasaku, bahasa ibumu karena aku ingin anakku harus mengenal bahasa ibunya. Sangat disayangkan kalau engkau tidak mengenal bahasa ibumu setelah kau besar nanti. Seperti anak-anak campuran Indonesia lainnya yang merasa asing dengan bahasa dan budaya ibu atau bapaknya. Aku tidak mau hal itu terjadi padamu nak. Aku tak mau jikalau kau besar terpaksa harus belajar bahasa ibumu lewat kursus, yang seharusnya kau dapatkan secara cuma-cuma dari ibumu sendiri. Sangat disayangkan kalau hal itu terjadi padamu.
Aku ingin kelak kala kau ku ajak ke negri leluhurmu, kau bisa langsung bergaul dan bercanda ria dengan mereka. Kau tidak merasa asing dan terasing.
Memang semua yang muluk-muluk itu kadang kala tidaklah semudah yang diangankan. Berbenturan dua budaya dalam dirimu dan dalam mendidikmu merupakan lantunan aneka musik yang penuh warna. Kadang ada nada sendu mendayu-dayu kadang hentakkan alunan musik keras yang berdentam deras, semuanya penuh makna.
Kuingat ketika usiamu menjelang tujuh bulan ayahmu ingin mendidikmu dengan cara Belandanya. Ia ingin kau mandiri nak, jadi sejak bayi kau harus tidur sendiri di kamarmu di tempat tidurmu. Suatu hari diawal malam dimana waktu tidurmu sudah tiba, digendongnya kau ke kamarmu, digantikannya popokmu, dipakaikan baju tidur kemudian ditidurkannya kau di tempat tidurmu sambil ia bacakan sepotong cerita untukmu. Akan tetapi begitu cerita itu usai kau belum tidur jua karena kau merasa tidak biasa dengan cara ayahmu. Kemudian kau ditinggalkan dan hanya ditemani dengan temaramnya lampu tidur. Begitu ayahmu menutup pintu kamarmu yang kudengar jerit tangismu yang tidak menerima sikap ayahmu itu.
Waktu kutanyakan pada ayahmu tentang caranya itu dijawabnya; “Biarkan dulu, menurut teori mendidik anak dari buku yang kubaca, malam pertama dia akan menangis kira-kira setengah jam, malam kedua seperempat jam dan malam ketiga dia bisa langsung tidur terpejam”.
“Ha…ha…ha…!” gelak tawaku membahana.
“Apakah cara berpikir seperti itu sudah dibuktikan kepada puluhan bayi-bayi atau bahkan ratusan? Setiap bayi punya sifat bawaannya sendiri dan tidak bisa disamakan” sangkalku.
Tapi ayahmu tetap membatu dengan pendiriannya itu, walaupun hatiku terenyuh mendengar jerit tangismu kupendam itu semua. Aku juga ingin membuktikan apakah teorinya itu benar.
Malam itu memang engkau menangis sekitar setengah jam kemudian kau kecapaian dan terlelap tidur. Malam kedua ayahmu berbuat hal yang sama, setelah kau ditinggalkan, kau menangis seperempat jam kemudian jatuh tertidur. Ayahmu tersenyum bangga padaku dengan senyum kemenangan bahwa caranya itu benar. Aku masih sempat berkata padanya; “kita lihat saja nanti dua malam sangat terlalu dini dalam membuktikan suatu teori”.
Malam ketiga dilakukannya juga cara yang sama, tapi begitu kau digendongnya dan dibawa ke kamar kau sudah menjerit-jerit menangis, kau menolak tapi ayahmu tetap dengan sikapnya. Setelah dibacakan cerita untukmu dan kemudian ditinggalkannya kau sendirian di kamar tidurmu suara tangismu masih lantang terdengar. Ditunggu seperempat jam berlalu, setengah jam lewat namun kau tak kunjung diam engkau menangis dan tetap terus menangis……
Naluri keibuanku pun muncul kukatakan kepada ayahmu bahwa ternyata cara seperti itu tidak bisa buatmu dan aku ingin mengambilmu karena aku tidak tahan lagi mendengar tangismu.
“Jangan, biarkan saja dulu dia kan anak Belanda dia harus mandiri tidak boleh manja” cegah ayahmu.
“Anak Belanda? Siapa bilang dia anak Belanda, dia keluar dari perutku koq, dari perut seorang ibu Indonesia” jawabku sambil menggerutu dan terus berlalu. Ayahmu tak bisa berbuat apa-apa hanya bisa nyengir kuda kehabisan kata.
Kuambil kau di kamar tidurmu dan kudekap, kau pun membalasnya dengan rangkulan erat tangan-tangan kecilmu di leherku seakan berucap “jangan tinggalkan aku sendiri bunda….”
Itulah sekelumit kisah kami mendidikmu anakku, kadang ayah bundamu berbeda pendapat tapi banyak juga yang seiring dan sepakat. Karena banyak juga cara dan budaya Belanda dalam mendidik anak yang bagus seperti, mandiri, disiplin, tanggungjawab dan lain-lain.
Hari berganti minggu, minggu menjadi bulan, bulan beralih tahun engkau pun mulai tumbuh kembang, sudah bisa berjalan dan berbicara sepatah dua patah kata. Lagu-lagu kebangsaanku pengantar tidurmu kuganti dengan cerita-cerita menarik tentang negeri impian nun jauh di sana di garis khatulistiwa. Negeri yang hangat bermandikan cahaya mentari, negeri ribuan pulau-pulau yang dikelilingi lautan nan biru. Negeri yang subur alamnya, kaya dengan tetumbuhan dan hewannya. Negeri nan elok pemandangan alamnya dengan gunung-gunung yang menjulang tinggi, pantai yang landai indah menawan yang kesemuanya tiada taranya di dunia ini, disanjung dan dipuja oleh manusia yang pernah singgah ke sana sejak dari dahulu kala.
Penduduknya anakku, penduduknya yang ramah, senang bercanda, mempunyai tata krama dan sopan santun, suatu warisan yang diajarkan turun temurun. Mencintai anak dan balita, menghargai yang muda menghormati yang tua. Siap menolong dan senang bergotong royong. ‘Sakit sama dirasa, berat sama dipikul’ itulah semboyan mereka dalam hidup bertetangga.
Negeri dengan berjuta bahasa dan ragam budayanya, beraneka macam aliran agama semuanya dipersatukan dengan semboyan ‘Bhineka Tunggal Ika’ nya. Walapun kami berbeda-beda namun satu adanya.
Itulah negeri impian anakku nun jauh di sana di garis khatulistiwa yang bernama Indonesia. Siang malam kusanjung dia anakku, negeri dimana aku dilahirkan dan dibesarkan. Negeri dimana masa kanak-kanakku kuhabiskan dengan bebas bermain keluar masuk hutan kebun dan ngarai, berenang dikolong dan sungai, bercanda dengan lumpur dan ombak pasir pantai.
Engkau ternganga kagum mendengar ceritaku, mulut mungilmu bulat bundar, bola matamu berbinar-binar, cerita menawan tentang negri impian di ingatanmu tak pernah pudar.
Suatu ketika engkau pernah bertanya, diselah-selah ceritaku, “Bunda kenapa kita tidak tinggal di sana saja, pasti sangat menyenangkan aku tidak akan pernah kedinginan lagi seperti di sini”.
“Yah keinginan bunda juga begitu nak tapi susah untuk medapatkan pekerjaan buat orang asing seperti ayahmu.”
“Gampang saja ayah bisa jualan es keliling seperti cerita bunda tentang tukang es keliling, pasti laku dan aku juga bisa makan es setiap hari.”
“Ha…ha…ha…! anakku kau lucu” kudekap engkau dalam pelukanku.
Atau ketika kau tak bisa memejamkan mata karena ceritaku masih menggantung di anganmu, kau berkata, “Bunda kenapa bunda dulu tidak menikah dengan orang Indonesia saja, biar kita tinggalnya di sana…”
Duhai anakku engkau merasa satu bagian denganku. Kau merasa ayahmu orang asing yang terpisah darimu. Tidak anakku, kalau lah kau tahu seandainya bundamu ini menikah dengan orang negeriku tentu anaknya bukan dikau sayangku.
***
Suatu hari ketika usiamu beranjak sepuluh tahun. Dimana kau sudah mulai belajar mengenal arti kehidupan. Bisa membedakan yang mana baik dan buruk. Sudah mulai bisa berpikir dan menilai. Dimana ungkapan rasa dan perasaan sudah bisah kau cerna. Ku ajak kau ke negri impian itu. Kau sambut gembira dengan berjuta rasa dan berjuta asa.
“Melihat negeri bak surga siapa takuuut?” canda mu. Hatimu berbunga-bunga, tidurmu tak lagi lena. Dihantui pikiran melihat negeri impian Indonesia.
Waktu kau menginjakkan kaki pertama kali di bumi Indonesia, kau disambut dengan udara panas tiga puluh derajat. Hiruk pikuk tuter mobil pribadi dan taksi yang berseliweran dan parkir sembarangan di Bandara membuat mu terpana. Bau knalpot kendaraan dan rebutan tukang angkat dan calo-calo taksi menyesakkanmu. Kulihat kau bingung dan lelah. Lelah dengan perjalanan panjang yang telah kita tempuh dan suasana yang kurang bersahabat. Di tempat peristirahatan kau jatuh tidur terlelap.
Hari-hari selanjutnya kuajak kau berjalan-jalan melihat keindahan negeri leluhurmu. Kita bertiga berjalan menyusuri jalan setapak mencari jejak langkah masa kecilku dulu…
Tapi….dimana hutan-hutanku dulu? Dimana kebun-kebun jagung, singkong, kacang dan sayuran yang ditanam para petani? Dimana kolong-kolong kecil tempatku memancing ikan dan bermain air dulu? Dimana sungai dengan air yang mengalir jernih di selah-selah bebatuan tempatku bersama teman-teman kecilku mandi dulu? Dimana…? Dimana itu semua……? Langkahku mulai tersendat, krongkonganku tercekat, suaraku bergetar, tatap mataku nanar…….!
Nak, apa yang harus kuceritakan padamu? Di hadapan kita hanyalah tanah-tanah yang gersang. Hutan yang gundul dan nun jauh di ujung sana masih tersisa asap bakaran. Kebun-kebun itu sudah berubah menjadi bangunan rumah penduduk yang berdiri tidak beraturan. Air sungai yang jernih dulu berganti warna kelabu berbau busuk. Mengalir terseok bercampur lumpur, sampah dan limbah pabrik karet dan kayu lapis di hulu sana….!
“Bunda….dimana binatang-binatang hutan itu kini? Apakah mereka sempat menyelamatkan diri disaat pohon-pohon ditebang atau lingkungan hidup mereka
dibakar? Apakah masih ada ikan yang hidup di air yang begitu keruh?” tanyamu begitu lirih.
“Entah lah nak bunda juga tidak tahu, semoga mereka masih tersisa bertahan hidup di tempat yang jauh dari jangkauan tangan-tangan jahil manusia….”.
Semuanya begitu berubah lima belas tahun berlalu membuat semuanya berubah begitu mencolok nak …. Aku tahu engkau pasti kecewa seperti juga bundamu ini….! Jejak-jejak masa kanakku telah hilang meninggalkan perih yang mendalam di dada ini.
Sewaktu kita berjalan menuju pulang, di satu warung kecil di pinggir jalan setapak kau melihat seekor anak monyet yang lehernya dikalungi dengan seutas tali plastik sepanjang kira-kira satu meter. Ujung tali tersebut terikat dikaki bangku kayu yang tertanam ke tanah. Anak monyet itu tidak bisa bergerak leluasa lebih dari satu meter.
“Bunda kasihan sekali monyet itu” katamu sambil berlari mendekatinya. Kau ulurkan tanganmu, anak monyet itu melompat kepangkuanmu dan memelukmu. Mata kuning kecoklatannya berbinar-binar bersih menatapmu. Ternyata pemilik monyet itu adalah gadis kecil seusiamu. Kalian pun mulai terlibat dalam perbincangan.
“Lucu monyetnya dari mana kamu dapat dan dimana induknya?”
“Oh anak monyet ini ditemukan bapakku ketika pergi ke hutan di sana” kata gadis kecil itu sambil menunjuk ke arah sisa asap yang masih mengepul.
“Dia ditinggalkan induknya, mungkin induknya mati atau lari saat orang membakar hutan”. Lanjutnya tanpa ada rasa duka, nadanya datar dan biasa.
Tapi itu bukan biasa bagimu nak, ceritanya menoreh luka di lubuk hatimu. Matamu berkaca-kaca sambil tetap menunduk membelai monyet yang malang itu. Engkau sedih dan marah, tapi kau pun tak mau kawan barumu tahu dan bingung dengan perasaanmu.
Suatu kali disaat kita berjalan di pusat perbelanjaan, kita pernah menyaksikan dua pelajar seragam SMU lari dikejar-kejar oleh segerombolan pelajar dengan seragam yang sama juga, ada yang membawa pisau, kayu dll. Kita berhenti bingung apa yang terjadi.
“Ah biasalah bu, pelajar tauran, akhir-akhir ini lagi ‘ngetren’ pelajar tauran” kata seorang pelayan toko datar, melihat sikap kita yang bengong.
Dilain hari kita dikejutkan dengan orang-orang berlari mengejar pencopet sambil berteriak;
“Copet…copet …tangkap….!”
“Hajar….!”
“pukul…!”
“Sikaat..!”
Tidak seberapa lama berselang sicopet digelandang ramai-ramai dengan muka dan hidung berdarah-darah bak orang kalah tinju.
“Kenapa gak dibakar aja sekalian, biar tau rasa …” celetuk seorang laki-laki, lagi-lagi dengan nada yang datar sambil berlalu.
Ya Tuhanku…! di negeri manakah kita ini berada anakku, kita tidak sedang bermimpi. Inilah Indonesiaku nak, Indonesia yang kubangga-banggakan padamu dengan penduduknya yang santun yang berbudaya dan beradab……
***
Di atas pesawat yang membawa kita kembali ke Belanda, kulihat kau melamun dan kadang-kadang menghela nafas panjang. Aku ingin sekali menanyakan apa yang kau pikirkan, tapi kutahan aku tidak ingin mengganggu lamunanmu sampai akhirnya…
“Bunda…!” panggilmu lirih diselah-selah deru mesin pesawat.
“Aku kadang-kadang bingung, aku ini anak Indonesia atau anak Belanda…”
Setelah menarik nafas dalam kau lanjutkan perkataanmu yang terpotong. “Setelahku pikir-pikir aku bangga menjadi anak Indonesia, tapi…aku lebih bangga menjadi anak Belanda…”
Kau tatap mataku menanti perubahan sikapku.
Aku hanya bisa tersenyum kecut mendengar pernyataanmu lewat permainan kata-katamu itu. Kupandang wajah polosmu itu nak! Kau takut membuat bundamu berduka tapi kau pun tak mau menyembunyikan kegalauan perasaanmu. Kurangkul kepalamu ke dadaku kucium rambutmu dan kulirik ayahmu. Kulihat ayahmu berpura-pura tidur seakan tidak mendengar perkataanmu, tapi kulihat disudut bibirnya tersungging seulas senyuman, senyum kemenangan, senyum kebanggaan….
Yah… kalian memang pantas bangga dengan tanah air kalian……….!

Posted by azay on 02.53. Filed under , , . You can follow any responses to this entry through the RSS 2.0. Feel free to leave a response

0 komentar for "Negeri Impian"

Leave a reply

Blog Archive

Recently Commented

Recently Added