MOST RECENT

Dalang Dibalik Gerakan Islam Liberal di Berbagai Negeri Muslim Saat Ini

Khalif Mu'ammar
imageGerakan liberalisasi pemikiran Islam yang marak akhir-akhir ini (bahkan di Jakarta mereka membentuk JIL = Jaringan Islam Liberal), sebenarnya lebih berunsur pengaruh eksternal ketimbang perkembangan alami dari dalam tradisi pemikiran Islam sendiri. Leornard Binder, diantara sarjana Barat keturunan Yahudi yang bertanggungjawab mencetuskan pergerakan Islam liberal dan mengorbitkannya pada era 80-an, telah memerinci agenda-agenda penting Islam Liberal dalam bukunya Islamic Liberalism: A Critique of Development Ideologies. Dalam buku tersebut ia menjelaskan premis dan titik tolak perlunya pergerakan Islam Liberal didukung dan di sebar luaskan. Selain rational discourse yang merupakan tonggak utamanya, gerakan ternyata tidak lebih daripada alat untuk mencapai tujuan politik yaitu menciptakan pemerintahan Liberal ala Barat (AS dan Eropa). Antek Yahudi dan Barat bentuk lainnya?

Pengaruh eksternal itu dengan mudah dapat ditelusur dari trend pemikiran liberal di Barat dan dalam tradisi keagamaan Kristen. Leornard Binder, diantara sarjana Barat keturunan Yahudi yang bertanggungjawab mencetuskan pergerakan Islam liberal dan mengorbitkannnya pada era 80-an, telah memerinci agenda-agenda penting Islam Liberal dalam bukunya Islamic Liberalism: A Critique of Development Ideologies. Dalam buku tersebut ia menjelaskan premis dan titik tolak perlunya pergerakan Islam Liberal didukung dan di sebar luaskan. Selain rational discourse yang merupakan tonggak utamaya, gerakan ternyata tidak lebih daripada alat untuk mencapai tujuan politik yaitu menciptakan pemerintahan liberal. Binder menjelaskan: “ Liberal government is the product of a continuous process of rational discourse…. Political Liberalism in this sense, is indivisible. It will either prevail worldwide, or it will have to be defended by nondiscursive action .” (Leonard Binder, 1988) Fakta ini didukung oleh seorang lagi penulis dan pendukung Islam Liberal, Greg Barton, dalam bukunya Gagasan Islam Liberal di Indonesia. Barton menggariskan prinsip dasar yang dipegang oleh kelompok Islam liberal yaitu: (a) Pentingnya kontekstualisasi ijtihad; (b) Komitmen terhadap rasionalitas dan pembaharuan (agama); (c) Penerimaan terhadap pluralisme sosial dan pluralisme agama-agama; (d) Pemisahan agama dari parti politik dan kedudukan negara yang nonsektarian. (Greg Barton, 1999)


Liberalisme dan ‘Fundamentalisme'


Sebagaimana watak pemikiran postmodernis yang selalu mengkaitkan permikiran dengan kekuasaan, gerakan Islam liberal nampaknya tidak jauh dari trend itu. Maka dari itu dalam pemikiran Islam liberal, politik adalah salah satu agenda terpenting. Terbukti ketika pemikiran Islam liberal memulai gerakannya apa yang menjadi concern utamanya adalah membendung kekuatan arus pemikiran yang dinamakan ‘fundamentalis'. Cara-cara gerakan ini menghadang kelompok ini lebih cenderung frontal dan konfrontatif daripada persuasive. Tokoh-tokoh pemikir liberal di kalangan masyarakat Muslim, seperti Nasr Hamid Abu Zayd, Hasan Hanafi, Asghar Ali Engineer, Fatimah Mernisi, Aminah Wadud, Arkoun, al-Jabiri, Abdullah al-Naim dll, muncul dengan ide-ide yang secara mencurigakan menyerang pemikiran mainstream ummat Islam . Pandangan-pandangan mereka terhadap kelompok salafi yang mereka anggap fundamentalis lebih keras daripada kritik mereka terhadap Barat. Juga karena ide pluralisme agama kritik mereka terhadap Islam dan ummat Islam lebih keras daripada kritik mereka terhadap agama lain. Gejala ini perlu dicermati dengan seksama.

Perkataan fundamentalisme muncul pertama kali pada tahun 1920 oleh Curtis Lee Laws dengan merujuk kepada golongan Kristen, American Protestant , yang menentang modernisme dan liberalisme khususnya Darwinisme. Fanatisme mereka terhadap Christianity dan penentangan terhadap pembaharuan ini menjadi ciri utama fundamentalisme golongan Kristian tersebut. Oleh karena itu, istilah fundamentalis ini sinonim dengan fanatik, ekstrimis, dan militant. Maka perkataan tersebut membawa konotasi yang negatif, dan memberi makna yang mencemooh dan memojokkan.

Penggunaan Istilah tersebut dalam Islam muncul dan menjadi popular setelah terjadi revolusi Iran, yaitu sebutan yang merujuk kepada aktifis militan golongan Shi'ah di Iran, yang memprotes segala aktivitas Barat dan mempromosikan penentangan terhadap Barat dan kepentingan Barat. Bahkan kemudia fundamentalisme dikaitkan dengan aksi-aksi terrorisme. Menurut James Veitch istilah fundamentalisme telah digunakan dengan sewenang-wenangnya oleh media Barat dan penulis-penulis Barat sehingga tidak hanya melingkupi golongan radikal dan ekstrim tetapi juga golongan yang dinamakan reformis atau revivalis. (James Veitch, 1993)

Senada dengan James, Khurshid Ahmad menyangkal dimasukkanya gerakan revivalis kedalam kategori Fundamentalis, fanatik dan militan. Karena gerakan-gerakan tersebut tidak bersifat demikian. Beliau menjelaskan:

The West has failed to see the strength and potential of the Islamic movement. It has chosen to dub it as fundamentalist, as fanatic, as anti- Western, as anachronistic…Nothing could be farther from the truth. It appears that the West is once again committing the fatal mistake of looking upon others as belonging to a different paradigm, from the prism of its own distorted categories of thought and history. (Khurshid Ahmad. “The Nature of the Islamic Resurgence”, ed. John L. Esposito, Voices of Resuregent Islam , 225).

Richard Nixon Bekas presiden Amerika telah menulis sebuah buku yang berjudul Seize the Moment . Buku ini menjadi rujukan utama dalam menentukan dasar kebijaksanaan Luar negeri Amerika. Dalam buku tersebut Nixon memberikan lima kreteria seorang fundamentalis Muslim. Pertama: Orang yang membenci Barat. Kedua: orang yang berpendirian bahwa Islam adalah agama dan negara. Ketiga: orang yang ingin melaksanakan Syari'at Islam. Keempat: orang yang ingin membina kembali peradaban Islam. Kelima orang yang beranggapan bahwa penyelesaian bagi Umat Islam adalah dengan kembali kepada masa lampau (ajaran Islam yang benar).

Mafhum mukhalafah dari kriteria ini jelas bahwa orang yang tidak fundamentalis bagi Barat adalah orang Islam yang meninggalkan syariat Islam, tidak concern dengan masalah umat Islam, dan tidak bercita-cita membangun kembali kegemilangan Islam. Jadi sejatinya yang menjadi ancaman bagi Barat bukan Muslim “fundamentalis”, tapi kebangkitan Islam itu sendiri.

Sekularisasi dan Depolitisasi Islam


Di Barat, sekularisme, modernisme dan liberalisme berjalan seiring. Ketiga-tiga pemikiran ini adalah solusi bagi masyarakat Barat untuk maju dan modern. Itu disebabkan, mereka telah menderita akibat pemerintahan kuku besi Gereja yang telah membunuh sekitar 430.000 orang dan membakar hidup-hidup sekitar 32.000 orang atas alasan menentang kehendak tuhan. Galileo, Bruno dan Copernicus adalah diantara saintis-saintis yang malang karena melontarkan idea yang bertentangan dengan idea Gereja yang kononnya berasal daripada Tuhan.

Untuk melestarikan kekuasaannya, gereja membentuk satu institusi pengadilan yang dikenal paling brutal di dunia, yaitu Mahkamah Inkuisisi. Karen Armstrong, dalam bukunya, Holy War: The Crusades and Their Impact on Today's World, (1991:456) menyatakan: “ Most of us would agree that one of the most evil of all Christian institutions was the Inquisition, which was an instrument of terror in the Catholic Church until the end of seventeenth century.” Despotisme Gereja ini mengakibatkan pemberontakan terhadap kekuasaan Gereja. Konflik tersebut berakhir dengan kemenangan bagi filsafat dan Sains.

Sudah menjadi sunnatullah aksi yang kuat akan menghasilkan reaksi yang kuat, setelah kekuasaan berada pada filsafat dan Sains, maka agama (Kristen) kemudian menjadi korban tekanan dan pembatasan. Pemikiran sekularisme, modernisme dan liberalisme ternyata adalah obat yang mujarrab yang telah berhasil membawa masyarakat Barat dari era kegelapan ( the dark age ) ke era kebangkitan ( renaissance ) dan kemajuan.

Persoalannya adalah apakah konsep-konsep sekularisme, modernisme, liberalisme dari Barat itu dapat dipakai untuk menyembuhkan penyakit umat Islam? Jawabnya tentu negatif, sebab penyakit yang diderita Umat Islam amat berbeda dari penyakit yang diderita masyarakat Barat. Umat Islam tidak pernah mengalami pemerintahan kuku besi yang dilakukan oleh ‘clergy'; ulama tidak pernah memerintah dan tidak berambisi memerintah. Sebab, Islam tidak mengenal “institusi gereja” yang mengaku mendapatkan mandat dari Tuhan untuk berkuasa.

Ternyata, konsep-konsep sekularisasi dan liberalisasi itu berdampak pada penelanjangan politik (depolitisasi) ummat Islam. Dan ini telah dilakukan sejak awal abad keduapuluhan yaitu bersamaan dengan kejatuhan Khilafah Uthmaniyyah (1924). Pada tahun tahun ini muncul beberapa tokoh kontroversi seperti Kamal Attaturk di Turki yang telah bertanggungjawab menghapuskan Khilafah Utmaniyyah dan menggantikannya dengan negara sekular. Secara intelektual, muncul nama ‘Ali ‘Abd al-Raziq di Mesir, seorang qadi Shar'i yang mendapat Ijazah doktor di London dengan bimbingan T.W. Arnold, seorang orientalis terkenal. ‘Ali ‘Abd al-Raziq mungkin sarjana Muslim yang pertama yang mendukung penghapusan Khilafah . Menurutnya, Islam dan Rasulullah SAW sendiri memisahkan antara agama dengan politik. Karena itu, sistem Khilafah adalah ciptaan manusia: pemerintah dan kerajaan pada masa itu yang menjustifikasikan pemerintahan mereka dengan memperalat agama (‘Ali Abdul Raziq, tt. Al-Islam wa Usul al-Hukm ). Sebaliknya Islam hendaknya hanya dilihat dari sisi kerohaniannya saja ( spirituality ) yang tidak memerlukan kekuasaan dan percaturan politik. (Buku ‘Ali Abdul Raziq mendapat tentangan yang hebat daripada kebanyakan ulama pada masa itu, berpuluh-puluh buku telah ditulis untuk menjawab buku tersebut diantaranya buku-buku yang ditulis oleh: Muhammad Bakhit al-Mutii, Muhammad Khadr Husayn, Diya al-Din al-Rayyis dan lain-lain).

Setelah ‘Ali ‘Abd al-Raziq, muncullah kemudian orang-orang yang lebih berani lagi mempersoalkan masalah-masalah pokok dalam Islam dengan kritikan terhadap ajaran Islam, institusi Ulama, dan Rasulullah SAW. Golongan ini di Mesir lebih dikenali dengan golongan al-‘almaniyyun (sekularis).

Ketika terjadi perdebatan tentang penegakan hukum Islam di negara-negara Islam kelompok Islam liberal adalah golongan yang paling lantang menentangnya. Faraj Fawdah, salah seorang dari mereka mengatakan bahwa “melaksanakan Shari‘at Islam adalah bermakna menegakkan negara theokrasi, negara yang diperintah oleh golongan agama ( rijal al-Din ) yang memerintah atas nama Tuhan”. Wahid Ra'fat menambahkan, orang-orang yang ingin menegakkan Shari‘at sebenarnya ingin menjadi golongan kahanah ( clergy ), institusi yang mewakili Tuhan dan berkuasa penuh menentukan kehidupan manusia, sebab mereka saja yang akan mempunyai hak untuk menafsirkan Shari‘ah. Muhammad Sa‘id al-‘Ashmawi menolak campurtangan Islam dalam politik, ini karena al-Qur'an tidak pernah membincangkan pemerintahan atau menjelaskan bentuknya. Ashmawi juga mengatakan bahwa orang Islam yang menyeru penegakan hukum Islam sebenarnya tidak mengetahui apa yang dimaksudkan dengan hukum Islam. Asghar Ali Engineer mengatakan bahwa apa yang diperjuangkan oleh Mawdudi adalah pentafsiran beliau sendiri terhadap agama dan Shari‘at, dan bukannnya Islam ataupun Shari‘at Islam. Sebab, menurut Engineer, tidak ada definisi yang disepakati apa yang dimaksudkan dengan Shari‘ah. Asghar berkesimpulan bahwa negara yang ingin ditubuhkan oleh Mawdudi adalah negara theokrasi dan authoritarian, dimana golongan agama akan memerintah dengan kuku besi (Untuk jawaban yang lebih terperinci terhadap kritikan Asghar ‘Ali Engineer dan Nasr Hamid Abu Zaid lihat Thesis Master penulis yang tidak diterbitkan bertajuk The Concept of al-Hakimiyyah (the Sovereignty of God ) in Contemporary Islamic Political Thought . ISTAC, UIAM, 2003) :

Mawlana Mawdudi tries to explain the necessity for an Islamic state. He says that according to the Qur'an God is the Master of the world..Mawdudi maintains that over His own creation, over His own world, no one else has any right to rule; it will be fundamentally wrong. …We have already seen that even on matters of Shari‘ah there is no unanimity of opinion. It would therefore be very difficult to maintain that this is the meaning of the Qur'anic injunction and hence the Islamic state law in its light has to be so framed. Then there are those Muslim thinkers like Mawlana Azad who feel, not without justification from the Qur'an itself, that the Shari‘ah is not an integral part of the religious faith i.e. Din. If it is so one can hardly maintain that the Islamic state has to be based on Shari‘ah and that God's rule means enforcing Islamic Shari‘ah as formulated in the early Islamic period. And this is exactly what Mawlana Mawdudi means when he talks of God's rule being established on earth. God's rule in that case would mean Islamic Shari‘ah as formulated by Imam Abu Hanifah and as interpreted by Mawdudi or his lieutenants. In fact Mawdudi's approach is so rigid and his attitude so authoritarian that any state founded on his ideas would be a medieval dictatorship. (Asghar Ali Engineer, The Islamic State, 134-135).

Tudingan-tudingan kaum liberal seperti itu bisa dipahami dalam perspektif, bahwa mereka memang menjadi kepanjangan tangan Barat untuk menjalankan agenda Barat terhadap dunia Islam. Sebab, bagi Barat yang imperialistik, Islam – aqidah dan syariahnya — dipandang sebagai ancaman. Jika aqidah dan syariah Islam tegak di muka bumi, maka ideologi, pemikiran, sistem hukum, dan dominasi ekonomi Barat, otomatis akan goncang. Karena itulah, Barat mau membangun pusat-pusat studi Islam yang canggih dan membiayai sarjana-sarjana Muslim menimba ilmu di sana. Barat juga bersemangat membiayai kelompok-kelompok liberal Islam, di mana pun berada. Untuk apa? Jelas niat utamanya adalah untuk mengokohkan hegemoni mereka. Namun, itu adalah urusan Barat. Yang lebih penting adalah bagaimana kaum Muslim memahami agenda-agenda Barat dan kaum liberal pro-Barat, agar tidak terkecoh dan terjebak oleh agenda-agenda imperialis itu. Biasanya, mereka pintar membuat jargon-jargon dan istilah-istilah yang indah, yang seolah-olah untuk memajukan Islam. Padahal, justru menikam dari dalam dan meruntuhkan bangunan Islam itu sendiri. Namun, kita tidak perlu apriori dengan Barat, tetapi harus lebih cerdik dan lebih pintar dari Barat. Berbagai kemajuan yang dicapai Barat perlu dipelajari dengan sikap kritis, tanpa perlu membebek terhadap ideologi dan cara berpikir yang materialistik, sekularistik, liberalistik, dan hedonistik. Wallahu a'lam . nisa@yahoo.com

Oleh : Khalif Mu'ammar Penulis artikel ini adalah mahasiswa PhD ISTAC-IIUM Kuala Lumpur, Malaysia. Tulisan diambil dari INSISTNET.COM

08.46 | Posted in | Read More »

KAPITALISME-LIBERALISME DALAM PANDANGAN ISLAM

KAPITALISME-LIBERALISME DALAM PANDANGAN ISLAM


Perkembangan Kapitalisme-Liberalisme dari Era Klasik-Sekarang
a. 1 Kapitalisme klasik

Kapitalisme dalam sejarahnya adalah sebagai satu bagian dari gerakan individualisme rasionalis (akar dari liberalisme). Di ranah keagamaan gerakan ini telah melahirkan reformasi, salah satunya Reformasi Gereja oleh Marthin Luther pada tahun 1517 yang mempelopori terbentuknya gereja Protestan sebagai perlawanan atas dominasi Paus di Roma. Sedangkan di bidang pendidikan telah memicu timbulnya Renaissance, yang membawa Eropa ke abad pencerahan. Di bidang politik juga telah menampilkan ciri-ciri pemerintahan yang demokratis, dan terutama di bidang ekonomi telah memunculkan system ekonomi kapitalis. Karena itulah maka konsep peradaban kapitalis menjadi legal, sebab di dalam konsep kapitalisme tidak hanya terdapat system ekonomi saja melainkan juga suatu cara pandangan hidup. Dimana system ini mula-mula pertama kali berkembang subur di Inggris pada abad ke-18, lalu menyebar ke Eropa Barat dan Amerika Utara. Dalam system kapitalis hak-hak milik atas alat-alat produksi (tanah, pabrik, mesin dan sumber daya alam), ada di tangan orang perseorangan, bukan di tangan Negara. Tetapi untuk sektor-sektor lainnya tetap menjadi hak monopoli pemerintah.

Disini kapitalisme terdiri dari dua (2) tujuan pokok. Pertama, kepemilikan atas harta produktif berarti kekuasaan terhadap kehidupan orang lain. Dengan kata lain system ini lebih menyukai kekuasaan ekonomi yang di bagi-bagi atas beberapa pemilik harta atau lebih., sehingga bagi penganut ideology ini jika seluruh harta produktif menjadi milik Negara dan segala kekuasaan ekonomi bergabung dengan kekuasaan politik, maka harapan kemerdekaan ekonomi perseorangan akan kabur. Kedua, adanya pola pikir kapitalis yang menganggap bahwa kemajuan di bidang teknologi akan lebih mudah tercapai jika setiap orang mengurus sendiri urusannya dan memiliki dorongan pribadi untuk hal tersebut. Dalam perkembangannya cara berpikir ini menjadi prinsip kedua dalam sistem kapitalis yaitu, ekonomi pasar. Kebalikan dari ekonomi tradisional, dalam ekonomi pasar kapitalis lebih ditekankan kepada spesialisasi pekerjaan. Setiap orang hanya menghasilkan bagian terkecil dari segala keperluannya dengan ketrampilan yang dimilikinya. Dan segala produksi dan jasa itupun untuk kepentingan pasar, yang harganya ditentukan oleh keinginan penguasa politik. Salah satu faktor yang mempengaruhi hal itu adalah supply and demand (pasokan dan permintaan), apabila harga-harga naik pasar akan memberikan sinyal menguntungkan bagi produk-produk tertentu. Sebaliknya bila harga-harga menurun maka secara implisit pasar seakan memberikan sinyal agar setiap orang mencari peruntungan di tempat lain. Fleksibilitas pasar inilah yang tidak dapat dikendalikan oleh ekonomi totaliter (fasis/komunis), karena peran negara dalam perencanaan perekonomian terbentur oleh “luasnya pengawasan” yang dilakukannya. Karena tak seorangpun dapat menduga perkembangan yang terjadi dalam pasar yang begitu luas dimana setiap hari bermunculan puluhan juta keputusan ekonomi dan meliputi berjuta-juta orang. Oleh sebab itulah sistem ekonomi pasar kapitalis sangat memperhatikan keputusannya, bahkan terhadap daerah yang terpencil sekalipun. Sehingga luasnya jangkauan wilayah dan pengawasan bisa teratasi. Dan sebagai akibatnya ahli-ahli ekonomi sosialispun mengakui double impact dari ekonomi pasar. W. Arthur Lewis, ekonom Inggris (juga seorang sosialis) dalam tesisnya “The principles of economic planning ” (1949) mengungkapkan bahwa yang menjadi persoalannya bukanlah pada perencanan atau tiadanya perencanaan, tetapi diantara perencanaan dengan bimbingan (fasisme dan komunisme) dan perencanaan dengan anjuran (kapitalisme-liberalisme, dalam ekonomi pasar kapitalis). Hal yang pertama telah banyak dibuktikan dengan banyak kegagalan di Uni Sovyet dan China di tahun 50-an dan 60-an.

Meskipun demikian sistem ini juga memiliki cela, karena inti dari sistem ini adalah persaingan. Dalam persaingan ada dua pilihan, (a) monopoli perseorangan , atau (b) Negara yang serba kuasa. Dimana keduanya sama-sama beresiko karena membuat para pelaku ekonomi-pekerja, pengusaha dan penanam modal-harus lebih waspada karena sewaktu-waktu apapun bisa terjadi tanpa bisa di tebak, hanya bedanya antara monopoli oleh perseorangan atau perusahaan-perusahaan besar dengan monopoli oleh negara. Yang sering dilupakan dalam pengerukan keuntungan sebesar-besarnya dari sistem ekonomi pasar kapitalis adalah bahwa hal sebaliknya bisa saja terjadi. Semakin besar keuntungan yang di dapat secara otomatis membawa risiko yang tinggi, sebagai gambaran banyaknya perusahaan-perusahaan besar maupun perseorangan AS yang bangkrut dan gulung tikar akibat efek negatif dari sistem ekonomi kapitalis ini. Sebaliknya bagi mereka yang ingin “bermain aman” lebih memilih menanamkan modalnya pada obligasi-oblogasi dengan hasil yang terjamin dan lebih rendah tentunya.



a. 2 Kapitalisme Modern (Kapitalisme Demokrat)

Teori kapitalisme klasik paling mendekati kenyataan yang sesungguhnya sesuai dengan periodenya, adalah pada pertengahan abad ke-18 hingga kira-kira akhir abad ke-19. Dalam perkembangan selanjutnya di abad ke-20 banyak ketegangan yang dihadapi oleh kapitalisme, diantaranya perkembangan teknologi dalam industrinya sendiri dan di luar itu adalah banyaknya peperangan. Karena itu mau tidak mau sistem kapitalis harus melakukan perubahan yang signifikan. Pemisahan yang jelas antara hak milik, pimpinan dan pengawasan keuangan yang baru mungkin dilakukan setelah terbentuknya perusahaan sebagai badan hukum. Dalam sistem ekonomi kapitalis ini setiap pemegang saham memiliki hak meskipun hanya sebatas besaran saham yang dimilikinya. Yang mana hal ini belum terwujud atau bahkan tidak ada pada masa pra-kapitalis, ketika itu semua anggota secata pribadi memiliki hak secara penuh terhadap jalannya perusahaan. Tetapi di kemudian hari banyak yang mengkritik pengambilan keputusan berdasarkan kepemilikan saham ini, karena dalam sebuah badan hukum yang modern jarak begitu jauh antara badan hokum itu sendiri dengan para pemegang saham. Misalnya, dalam rapat awal tahunan saja para pemegang saham yang diikutkan rapat selalu kurang dari 1%nya. Karena biasanya saham mayoritas dikuasai oleh satu atau dua orang saja, sehingga “hitam-putihnya” perusahaan ada di tangan mereka.

Tetapi dalam perkembangannya muncullah asosiasi-asosiasi buruh / karyawan perusahaan yang dapat mempengaruhi keputusan yan dikeluarkan perusahaan. Bahkan di beberapa Negara seperti Ingggris kaum buruh berhasil membentuk parpol pada tahun 1900 dan secara bertahap berhasil mengambil alih posisi partai Liberal kemudianmenjadi salah satu dari dua partai besar di Inggris, dan dalam satu dasawarsa lebih (1996-sekarang) partai Buruhlah yang menguasai parlemen sehingga otomatis memegang kendali pemerintahan (dua PM terakhir; Tony Blair dan Gordon Brown berasal dari partai buruh). Sedangkan di AS sendiri perkembangan ekonominya mengalami perubahan signifikan pasca “resesi ekonomi” 1929, program New Deal dari presiden FD. Roosevelt telah memberikan udara segar bagi para buruh / karyawan perusahaan. Diantaranya adalah kebijakan menaikkan gaji dan tunjangan buruh selama masa krisis ekonomi untuk menyiasati naiknya harga-harga barang, yang nampaknya kebijakan ini juga ditiru Indonesia selama era presiden SBY.

Dan pada dasarnya di saat sekarang ini tidak ada yang dapat disebut sebagai kapitalis murni di antara negara-negara Barat, bahkan di kebanyakan negara-negara penganut sosialispun tidak ada yang secara murni menrapkan ideologinya. Contohnya saja kita lihat pada saat krisis ekonomi internasional beberapa waktu lalu Negara kapitalis seperti AS sampai-sampai melakukan Bail Out (campur tangan) terhadap perekonomian, yang dimonopoli swasta padahal tindakan seperti itu biasanya ebih sering dilakukan oleh negara-negara sosialis. Hal tersebut telah menunjukkan bahwa sistem dan ideologi kapitalisme telah bertransformasi sedemikian rupa demi mempertahankan eksistensinya.



Pandangan Islam Terhadap Liberalisme-Kapitalisme
b. 1 Struktur Pemerintahan dan Ekonomi

Pada dasarnya di dalam islam tidak ada suatu konsep yang baku tentang system yang mengatur kehidupan manusia, baik itu di sektor pemerintahan maupun ekonomi. Tetapi dalam perjalanan sejarahnya umat Islam dari masa periode Madinah, Khulafaurrasyidin hingga era tiga dinasti besar (Umayyah, Abbasiyah, dan Utsmaniyah) telah memberikan teladan yang baik bagaimana mengatur pemerintahan dan mengatur perekonomian. Malah pada masa Umar bin Khattab dalam rangka mempermudah administrasi pemerintahan wilayah ke-khalifahan dibagi menjadi delapan (8) provinsi, sedangkan untuk pengaturan ekonomi baik dari zakat, kharaj ataupun jizyah semuanya dikumpulkan ke Baitul Maal. Dan di tiap-tiap daerah setiap Gubernur diharuskan mengumpulkan kas daerah (baik dari zakat, kharaj, dan jizyah) dan menggunakannya untuk kepentingan derah masing-masing sesuai prioritas. Pernah dalam catatan sejarah suatu ketika ada salah seorang Gubernur Umar di Bushra (Syam) yang dua tahun lebih tidak mengirimkan setoran ke kas Negara, setelah dilakukan cross check (tabayun) ternyata si Gubernur tadi lama tidak menyetorkan penghasilan daerah ke kas Negara dikarenakan lebih mengutamakan perbaikan ekonomi masyarakat di wilayahnya. Dan contoh-contoh perilaku yang mulia dari para pejabat Negara sebenarnya banyak terjadi dalam era khulafaurrasyidin ini, tak terkecuali khulafaurrasyidin ke IV Ali bin Abi Thalib. Puncak kemakmuran ekonomi dalam era Islam klasik terjadi pada masa Khalifah ke-8 dinasti Umayyah, Umar bin Abdul Aziz (yang masih cicit Umar bin Khattab). Pada masa ini sang Khalifah berhasil melakukan pemerataan hasil perekonomian tentu saja diantaranya adalah pengelolaan zakat, kharaj dan jizyah yang efektif, bahkan saking makmurnya rakyat ketika itu sehingga petugas penyalur zakat dari kekhalifahan tidak menemukan seorangpun dhu’afa di seantero negeri.

Pada era selanjutnya ketika dinasti Abbasiyah berkuasa tepatnya saat Abu’l Ja’far al-Mansyur (755-775 M) duduk di kursi kehalifahan, salah seorang cendekiawan dan ulama muslim ketika itu Abu Yusuf mengarang sebuah kitab yang diberi judul al-Khara. Yang bila dikaji lebih jauh tidak hanya membahas soal kharaj (pajak tanah) saja tetapi juga memberikan saran-saran yang berkenaan dengan masalah perekonomian baik itu makro maupun mikro, dan ternyata dibelakang hari konsep dari buku al-Kharaj karya Abu Yusuf ini dijadikan acuan oleh Adam Smith dalam mengembangkan teori ekonominya, salah satu diantaranya adalah istilah “The Invisible Hands” nya yang selama ini kita pahami sebagai murni teori Adam Smith. Padahal konsep itu di ‘jiplak’ mentah-mentah dari kitab al-Kharaj karangan Abu Yusuf di Abad-8 M, cuma perbedaannya adalah yang dimaksud sebagai The Invisible Hands oleh Adam Smith lebih pada sifat pasar yang fleksibel, sedangkan istilah yang serupa dalam kitab al-Kharaj-nya Abu Yusuf dijelaskan sebagai ‘tangan-tangan Allah’. Fakta inipun baru saya ketahui setelah membaca buku mengenai ekonomi dan per-Bankan Syari’ah, yang seharusnya bisa menjadi solusi dalam pemecahan krisis ekonomi bagi umat Islam sedunia khususnya umat Islam di negeri ini.



2 Pandangan Para Ulama Kontemporer
Sebenarnya sampai kapanpun system dan ideologi Kapitalis-Liberalis seperti halnya ideologi Sosialis-Komunis tidak akan pernah cocok dengan kultur dan aqidah Islam yang Syumul (komprehensif). Beberapa ulama muslim di abad XX diantaranya Sayyid Qutb telah menyatakan pendapatnya “Saya heran dengan terhadap orang-orang yang kelewat semangat dalam ‘memuliakan’ al-Qur’an, orang-orang yang berusaha menambahkan kepadanya sesuatu yang bukan bagiannya, membebaninya dengan sesuatu yang tidak menjadi tujuannya, dan menyimpulkan darinya rincian-rincian ilmu kedokteran, kimia, astronomi, dan sebagainya…”, meskipun disini beliau tidak secara jelas menyebutnya tetapi bisa ditarik pengertian bahwa segala sesuatu yang bertentangan dengan hukum dasar Islam (al-Qur’an dan Hadits) maka untuk selamanya tidak bisa digunakan oleh umat Islam.

Meskipun demikian dalam realitas kehidupan berbangsa dan bernegara penolakan Islam terhadap ideology Liberalis-Kapitalis masih menjadi polemik, beberapa hal diantaranya adalah fatwa haram terhadap bunga Bank yang menimbulkan pro-kontra, belum lagi sistem demokrasi dan pemilu yang diantara umat Islam sendiri masih ada tarik ulur antara pendapat ‘Islam Yes, Partai Islam Yes!’ atau ‘Islam Yes, Partai Islam No!’. Bahkan sistem ekonomi Islam sendiri ternyata masih banyak saudara-saudara kita yang kurang setuju. Pernah saya browsing di internet lihat-lihat situs dari harokah lain yang secara halus menyindir harokah tertentu yang menerapkan ekonomi Islam dan terjun dalam politik praktis, mereka berpendapat jika ada Bank Islam dan Partai Islam maka suatu ketika pula akan muncul Beer Islam dan Diskotic islam.



Kesimpulan

Dari uraian di atas walaupun cukup singkat setidaknya bisa kita ambil beberapa kesimpulan, bahwasanya system Kapitalis-Liberalis yang sampai saat ini masih eksis dalam perkembangan segala aspek kehidupan dunia ternyata juga masih menghinggapi benak saudara-saudara kita sendiri sesama muslim. Dan ternyata kita sendiripun nampaknya masih gamang untuk sekedar berteriak lantang, untuk mengatakan betapa sistem dan ideologi Kapitalis-Liberalis sebenarnya sudah terlalu usang kalau tidak mau dikatakan primitif dan ketinggalan jaman. Tapi kelihatannya paradigma berpikir kebanyakan orang masih sukar diubah, atau bisa jadi kita justeru masih ragu untuk meninggalkan ideologi yang sudah usang itu untuk menjadi muslim yang kaffah.

Akhirnya saya dalam tulisan yang singkat ini hanya mampu memberikan sedikit masukan, bahwa kita perlu merintis sebuah langkah nyata untuk menggantikan ideologi Kapitalis-Liberalis yang sudah berurat-berakar di Negara Indonesia ini. Memasyarakatkan ekonomi Syari’ah dan menunjukkan perilaku politik yang baik sebagai aktivis politik muslim adalah beberapa diantaranya. Hanya diskusi dan berwacana saja tidak akan menyelesaikan masalah, tanpa adanya suatu langkah yang nyata dan efisien.

08.40 | Posted in | Read More »

Sejarah Pluralisme dan Gerakan Freemason

Istilah pluralisme agama tak hanya terjadi belakangan saja, istilah itu sudah pernah dikampanyekan gerakan freemanson dan theosofi dengan doktrin “Semper, ubique et ab omnibus”.

Paham yang mengatakan pada inti semua agama adalah sama tidak terlepas dari pengaruh Freemason. Gerakan ini bermula ketika pengikut Freemason membentuk gerakan The Theosophical Society. Dalam perkembangannya, The Theosophical Society ikut menyumbang bagi terwujudnya hikmah abadi (sophia perennis). Pemikiran para tokoh Sophia Perennis seperti Rene Guénon dan Frithjof Schuon tidak terlepas dari ajaran dalam Freemason.

Freemason dan Teosofi

Freemason menurut Encyclopaedia of Religion and Ethics (New York), adalah sistem moral khusus, ditutupi dengan kiasan serta diilustrasikan dengan simbol-simbol. Para sejarawan dari kalangan Freemason berpendapat paling tidak terdapat 3 teori yang menjelaskan sebab-musabab munculnya Freemason.

Pertama, Freemason muncul sangat lama sekali seiring dengan klaim ritual Freemason itu sendiri, yaitu ketika Raja Salomo mendirikan Bait Suci dan Freemason sampi kepada kita sehingga kini sekalipun mekanismenya tidak diketahui.

Kedua, Freemason adalah hasil dari karya para pembuat bangunan pada zaman pertengahan. Ketiga, ritual Freemason berasal dari Laskar Kristus yang menjaga Bait Suci Salomo (King Solomon’s Temple) atau dikenal juga sebagai Ksatria Bait Suci (Knight Templar). (baca Christopher Knight & Robert Lomas, The Hiram Key: Pharaohs, Freemasons and the Discovery of the Secret Scrolls of Jesus).

Freemason telah tersebar di benua Eropa. Salah satu fakta awal yang tertulis menunjukkan bahwa cabang Freemason telah ada di Inggris pada tahun 1641.

Robert Moray, salah seorang keluarga raja (Royal family), telah masuk menjadi anggota Freemason di Edinburgh pada tanggal 20 Mei 1641.

Selain itu, Elias Ashmole, masih dalam lingkungan keluarga Raja Inggris, menulis dalam buku diarinya bahwa ia telah menjadi anggota Freemason di Lancashsire, pada tanggal 16 Oktober 1646. (Francis A. Yates, The Rosicrucian Enlightenment).

Babak baru perkembangan Freemason adalah pada tanggal 24 Juni 1717. Sebabnya, pada tanggal tersebut Freemason telah menjadi organisasi Nasional dengan didirikannya Grand Lodge of England, yang merupakan gabungan dari 4 cabang Freemason. Para pengikut Freemason dalam Grand Lodge of England akan mengikuti agama yang semua manusia setuju… yaitu, menjadi Manusia yang Baik dan Benar (Religion is which all men agree… that is, to be Good Men and True).

Dengan terbentuknya Grand Lodge of England, gerakan Freemason semakin merebak sehingga berkembang melintasi benua Eropa sehingga ke benua Amerika.

George Washington, yang menjadi President pertama Amerika Serikat pada tanggal 30 April 1789 adalah seorang anggota Freemason. Selain itu, para penanda tangan Deklarasi Kemerdekaan Amerika yang ditandatangani pada tanggal 4 Juli 1778 oleh William Hoper, Benjamin Franklin, Matthew Thornton, William Whipple, John Hancock, Phillip Livinston dan Thomas Nelson, kesemua mereka adalah pengikut Freemason.

Semua Agama Sama

Setelah mengurai sejarah Freemason dengan sangat ringkas, ada baiknya kita melihat bagaimana pengikut Freemason ikut mempelopori terbentuknya paham yang menyamakan agama.

George Felt, seorang Freemason Yahudi, pada tanggal 7 September 1875 memberikan kuliah tentang “The Lost Canon of Proportion of the Egyptians,” di apartment Helena Petrovena Blavatsky (1831-1891), seorang aristokrat Rusia yang meninggalkan suami dan kemewahan harta karena merantau ke pegunungan Tibet selama bertahun-tahun.

George Felt memfokuskan materi kuliahnya kepada penafsiran mistis tehadap ajaran (tradisi) Mesir yang hilang. Salah seorang peserta yang mengikuti kulian tersebut, Henry Steel Olcott, seorang pengikut Freemason di New York, mengusulkan supaya semua peserta (berjumlah 17 orang) yang telah mengiktui kuliah George Felt agar membentuk sebuah kelompok yang akan meneliti lebih mendalam lagi mengenai tradisi kuno.

Blavatsky, guru Olcott menyetujui proposal tersebut. Sotheran, seorang Freemason, mengusulkan nama The Theosophical Society (Masyarakat Teosofis) bagi kelompok tersebut.

Akhirnya, pada tanggal 17 November, 1875 diadakan pertemuan dengan 18 orang (termasuk George Felt) dan pada tanggal itu ditetapkan sebagai awal berdirinya The Theosophical Society.

Dalam pidatonya peresmiannya, kolonel Henry Steel Olcott (1832-1907), berharap kelompok tersebut akan membuat penelitian dalam perbandingan agama dan juga untuk menemukan “ancient wisdom,” khususnya dalam sumber sumber primer dari semua agama, buku-buku Hermes dan Veda (primeval source of all religions, the books of Hermes and the Vedas), dengan perkataan lain dalam Filsafat Abadi.

Setelah kematian Olcott pada tahun 1907, posisi ketua dipegang oleh Annie Wood Besant (1847-1933). Besant, berasal dari Inggris, masuk menjadi anggota Theosophical Society pada tahun 1889 dan menjadi ketua gerakan tersebut dari tahun 1907 sampai akhir hidupnya (1933).

Menurut Besant, teosofi ataupun agama universal (universal religion) dibangun atas 2 fondasi, yaitu Tuhan sebagai immanent sekaligus transendent dan solidaritas atau persaudaraan semua manusia.

Sebuah doktrin keagamaan akan diuji dengan prinsip "Semper, ubique et ab omnibus" (Selalu, dimana saja dan dari semua). Besant juga merumuskan ajaran teosofis sebagai berikut: (1) the unity of God (kesatuan Tuhan). Ajaran mendasar dari teosofi sebagaimana semua agama adalah kebenaran agama universal. (2) The Trinity of the manifested God (Inkarnasi Tuhan dalam Trinitas) Tuhan termanifestasikan sebagi Logos. (3) The hierarchy of beings (tingkatan wujud). (4) Universal brotherhood (persaudaraan universal), yang berbeda dengan konsep ‘kesetaraan’ (equality) ataupun ‘demokrasi’ (democracy).

Besant juga menyatakan tujuan masyarakat Teosofis adalah mengajarkan kepada pengikutnya bahwa agama-agama adalah ungkapan dari hikmah ilahi yang lahir dan berasal dari zat yang satu. Oleh sebab itu, keragaman dan perbedaan dalam manifestasi lahiriah dan bentuk bukanlah inti dari ajaran agama. Semua agama memiliki keaslian dan kebenaran karena berasal dari zat yang satu.

Ringkasnya, sejak dibentuk oleh 18 orang anggota di New York, The Theosophical Society telah berkembang menjadi organisasi internasional.

Pada tahun 1879, markasnya dipindahkan ke Bombay, India. Tiga tahun setelah itu (1882), markasnya sekali lagi dipindahkan ke Adyar, pinggiran Madras. Akhir abad 19, The Theosophical Society telah memiliki 500 cabang dalam 40 Negara di Asia dan Barat, termasuk cabang yang ada di Perancis, yand diikuti oleh Gérard Encausse (m. 1916) pada tahun 1887.5.

Selain tokoh gerakan freemason Olcott dan Blavatsky, tokoh yang ikut tertarik gagasan 'pluralisme agama' adalah Rene Guénon dan Frithjoc Schuon.

Tertarik dengan gagasan Olcott dan Blavatsky, Gérard Encausse, seorang Freemason mendirikan cabang The Theosophical Society di Perancis. Nama samarannya dikenal sebagai Papus.

Ia mendirikan Free School of Hermetic Sciences, sebuah sekolah yang mengkaji tentang mistis. Encausse menghidupkan kembali ajaran Martinist Order. Nama lengkap De Saint-Martin adalah Louis-Claude de Saint-Martin, seorang Freemason dan bekas pegawai tentara yang punya ketertarikan dengan mistis dan Hermes.

Sebagaimana dalam buku Against the Modern World: Traditionalism and the Secret Intellectual History of the Twetieth Century (OOxford: Oxford University Press, 2004), Martin meyakin, “Semua tradisi bumi harus dilihat sebagai berasal dari tradisi-ibu yang fundamental bahwa, dari awal, telah dipercayakan kepada laki-laki yang berdosa dan kepada keturunannya yang pertama.

(All the traditions of the earth must be seen as deriving from a fundamental mother-tradition that, from the beginning, was entrusted to sinful man and to his offspring).

Pernyataan yang sama juga dikemukakan oleh Count Joseph de Maistre, juga seorang Freemason dan teman dekat Saint-Martin bahwam “Agama yang benar lahir pada hari ketika [semua] hari dilahirkan…, Konsep yang kabur [mengenai orang-orang kuno] tidak lain disebabkan banyaknya dari sedikit kelemahan dari tradisi primitive yang tinggal. (The True religion…was born on the day that [all] days were born…, The vague conceptions [of the ancients] were no more than the more of less feeble remains of the primitive tradition).

Pada tahun 1906, Rene Guénon (1886-1951), yang kelak menjadi pelopor Filsafat Abadi, masuk ke sekolahnya Encausse. Disana, Guénon bukan saja mulai mengenali kajian mistis (occult studies), namun juga berkenalan dengan sejumlah tokoh Freemason, teosofi dan berbagai gerakan spiritual yang lain.

Guénon aktif menggelar berbagai kongres, seminar, diskusi dan aktifitas tentang mistis dan Freemason di Perancis. Ringkasnya, Freemason merupakan ketertarikan Guénon yang paling besar sepanjang hidupnya (it remained of Guénon’s great interests throughout his life).

Bagi Guénon, Freemason adalah wadah dari luasnya hikmah tradisional, kaya khususnya dalam simbolisme dan ritual. Guénon juga yakin bahwa Freemason adalah cara untuk menjaga banyak aspek dari Kristen yang telah hilang dan terabaikan.

Guénon (m.1951) menghidupkan kembali nilai-nilai, hikmah, kebenaran abadi yang ada pada Tradisi dan agama. Guénon (m. 1951), menyebutnya sebagai Primordial Tradition (Tradisi Primordial). Guénon, yang awalnya Katolik, selanjutnya “memeluk” Islam pada tahun 1912. (nama Islamnya Abdul Wahid Yahya).
Bagaimanapun, selama kehidupannya di Perancis, Guénon tidak dikenal telah mempraktekkan ritual Islam.

Guénon berpendapat bahwa ilmu yang utama sebenarnya adalah ilmu tentang spiritual. Ilmu yang lain harus dicapai juga, namun ia hanya akan bermakna dan bermanfaat jika dikaitkan dengan ilmu spiritual.

Menurut Guénon, substansi dari ilmu spiritual bersumber dari supranatural dan transendent. Ilmu tersebut adalah universal. Oleh sebab itu, ilmu tersebut tidak dibatasi oleh suatu kelompok agama tertentu. Ia adalah milik bersama semua Tradisi Primordial (Primordial Tradition).

Perbedaan teknis yang terjadi merupakan jalan dan cara yang berbeda untuk merealisasikan Kebenaran. Perbedaan tersebut sah-sah saja karena setiap agama memiliki kontribusinya yang unik untuk memahami Realitas Akhir.

Pengalaman spiritual Rene Guénon (m.1951) dalam gerakan teosofi dan Freemason mendorongnya untuk menyimpulkan bahwa semua agama memiliki kebenaran dan bersatu pada pada level Kebenaran.

Salah seorang tokoh penerus pemikiran Guénon adalah Frithjof Schuon (1907-1998).

Sejak berusia 16 tahun, ia telah membaca karya Guénon, Orient et Occident. Kagum dengan pemikiran Guénon, Schuon saling berkirim surat dengan Guénon selama 20 tahun.

Setelah berkorespodensi sekian lama, akhirnya, untuk pertama kalinya Schuon bertemu dengan Guénon di Mesir pada tahun 1938.

Schuon “memeluk” Islam dan dikenal sebagai Isa Nuruddin Ahmad al-Shadhili al-Darquwi al-Alawi al-Maryami. Ia adalah seorang tokoh terkemuka dalam religio perennis (Agama Abadi).

Ia menegaskan prinsip-prinsip metafisika tradisional, mengeksplorasi dimensi-dimensi esoteris agama, menembus bentuk-bentuk mitologis dan agama serta mengkritik modernitas.

Ia mengangkat perbedaan antara dimensi-dimensi tradisi agama eksoteris dan esoteris sekaligus menyingkap titik temu metafisik antar semua agama-agama ortodoks. Ia mengungkap Satu-satunya Realitas Akhir, Yang Mutlak, Yang Tidak Terbatas dan Maha Sempurna. Ia menyeru supaya manusia dekat kepada-Nya.

Dalam pandangan Schuon, sekalipun dogma, hukum, moral, ritual agama adalah berbeda, namun nun jauh di kedalaman masing-masing agama, ada ‘a common ground’. Ia berpendapat agama-agama mengandung dimensi eksoterik dan esoterik.
Kedua dimensi ini yang inheren dalam agama berasal dari dan diketahui melalui Intelek (Intellect). Menurut Schuon, secara psikologis, ego manusia terkait dengan badan (body), otak (brain) dan hati (heart). Jika badan diasosiasikan dengan eksistensi fisik, otak dengan fikiran (mind), maka hati (heart) dengan Intelek.

Jika dikaitkan dengan realitas, maka Intelek dapat diasosiasikan dengan Esensi Tuhan (Yang Satu) dan langit (alam yang menjadi model dasar) sedangkan fikiran dan badan meliputi dunia fisik, terrestrial. Intelek sangat penting karena otak dan badan di bawah kendali, dan berasal dari Intelek.

Intelek adalah pusat manusia (the centre of human being), yang bersemayam di dalam hati. Kualifikasi intelektual harus didampingi dengan kualifikasi moral. Jika tidak, maka secara spiritual, Intelek tidak akan berfungsi. Hubungan antara ‘intelektualitas’ dan ‘spiritualitas’ adalah bagaikan hubungan antara pusat dan pinggiran. Intelektualitas menjadi spiritualitas ketika manusia sepenuhnya, bukan Intelektualitasnya saja, hidup di dalam kebenaran.

Intelek lebih tinggi dari rasio karena jika rasio itu menyimpulkan sesuatu berdasarkan kepada data, maka mental berfungsi karena eksistensi intelek. Rasio hanyalah media untuk menunjukkan jalan kepada orang buta, bukan untuk melihat. Sedangkan Intelek, dengan bantuan rasio, terungkap dengan sendirinya secara pasti. Selain itu, Intelek dapat menggunakan rasio untuk mendukung aktualisasinya.

Di dunia fisik, Intelek terbagi menjadi fikiran (mind) dan badan (body). Namun, hanya di dunia fisik Intelek terbagi. Di alam langit yang menjadi model dasar, atau di dalam Ide Plato, fikiran dan badan merupakan makna yang tidak dibedakan: Fikiran adalah eksistensi dan eksistensi adalah fikiran.

Manusia memahami kebenaran melalui intuisi. Sebagai sebuah daya, Intelek adalah dasar bagi intuisi. Intuisi intelek membedakan antara yang ril dan ilusi, antara wujud yang wajib dan wujud yang mungkin. Implikasinya, ada realitas transenden diluar dunia bentuk.

Dengan Intelek, manusia mengetahui bahwa Realitas dapat dibagi menjadi dua, Absolut dan relatif, Ril dan ilusi, Yang Harus dan mungkin, yang esoteris dan eksoteris. Menurut Schuon, agama-agama bertemu pada level yang esoteris, bukan eksoteris. Berikut penjelasan lebih lanjut mengenai esoteris dan eksoteris dalam pemikiran Schuon.

Eksoterisme dan Esoterisme
Menurut Schuon, eksoteris adalah aspek eksternal, formal, hukum, dogmatis, ritual, etika dan moral sebuah agama. Eksoteris berada sepenuhnya di dalam Maya, kosmos yang tercipta. Dalam pandangan eksoteris, Tuhan dipersepsikan sebagai Pencipta dan Pembuat Hukum bukan Tuhan sebagai Esensi karena eksoterisme berada di dalam Maya, yang relatif dalam hubungannya dengan Atma.. Pandangan eksoteris bermakna pandangan yang eksklusif, absolut dan total, sekalipun dari sudut pandang intelek adalah relatif.

Menurut Schuon, pandangan eksoteris, bukan saja benar dan sah bahkan juga keharusan mutlak bagi keselamatan (salvation) individu. Bagaimanapun, kebenaran eksoteris adalah relatif. Inti dari eksoteris adalah ‘kepercayaan’ kepada “huruf”,--sebuah dogma esklusifistik (formalistik)--dan kepatuhan terhadap hukum ritual dan moral. Selain itu, eksoterisme tidak pernah akan melampaui individu. Eksoterisme bukan muncul dari esoterisme, namun muncul dari Tuhan.

Schuon menyadari jika masing-masing “form” agama meyakini bahwa sesuatu “form” itu lebih hebat dibanding dengan “form” yang lain.. Pemikiran seperti itu, lanjut Schuon, sangat wajar. Perpindahan agama terjadi justru karena adanya superioritas sebuah “form” terhadap yang lain. Bagaimanapun, superioritas tersebut sebenarnya relatif.
Menurut Schuon, Islam misalnya, lebih baik dari Hindu karena memuat bentuk terakhir dari Sanatana Dharma. Schuon mengatakan.: “…Sama halnya, bahwa Agama Hindu adalah form yang paling tua yang masih hidup mengimplikasikan bahwa agama tersebut memiliki superioritas tertentu atau sentralitas dibanding dengan bentuk yang terakhir (Islam)”.

Esoteris adalah aspek metafisis dan dimensi internal agama. Tanpa esoterisme, agama akan teredusir menjadi sekedar aspek-aspek eksternal dan dogmatis-formalistik. Esoterisme dan eksoterisme saling melengkapi. Esoteris bagaikan “hati” dan eksoteris bagaikan ‘badan’agama. Menurut Schuon, titik-temu agama bukan berada pada level eksoteris. Sekalipun agama hidup di dalam dunia bentuk (a world of forms), namun ia bersumber dari Esensi yang Tak Berbentuk (the formless Essence). Agama memiliki dimensi esoteris yang berada di atas dimensi eksoteris. Titik temu antar agama hanya ada pada level esoteris.

Melalui esoterisme, manusia akan menemukan dirinya yang benar. Pandangan esoteris akan menolak ego manusia dan mengganti ego tersebut menjadi ego yang diwarnai dengan nilai-nilai ketuhanan. Esoterisme menembus simbol-simbol eksoterisme. Sekalipun terkait secara inheren kepada eksoterisme, esoterisme independen dari aspek eksternal, bentuk, formal agama. Independensi tersebut karena esensi dari esoterisme adalah kebenaran total. Kebenaran yang tidak terbatas dan tidak teredusir kepada eksoterisme, yang memiliki keterbatasan.

Pemaparan ringkas diatas menunjukkan gagasan Guenon dan Schuon yang memformulasi kesamaan agama dalam level esoteris adalah hasil interaksi mereka dengan para tokoh Freemason dan Teosof. Gagasan pada intinya semua agama sama disebarkan pada awalnya oleh para pengikut Freemason, yang ingin merelevansikan ajaran-ajaran Yahudi, mistis, dan “hikmah kuno” (ancient wisdom) ke zaman modern.

08.17 | Posted in , | Read More »

Melacak Akar Berpikir Kaum Pluralis

Pluralisme agama dalam pengertian sederhananya adalah upaya menampik klaim kebenaran. Selanjutnya ide ini menjelma dalam wujud wacana kesatuan transendental agama-agama. Gagasan ini,kemudian mengkhayalkan adanya titik temu antar agama pada level esoteris. Pada awalnya gagasan ini diangkat dan di ‘turunkan ke bumi’ oleh Schuon kemudian disambut gegap gempita oleh para sarjana lintas agama dan akhirnya menjadi ‘wahyu’ yang mencerahkan dalam setiap kesempatan dialog lintas agama. Jika kita menggali lebih dalam paham pluralisme agama ini lahir dari doktrin pluralisme.Di Barat pluralisme memiliki akar yang dapat ditelusuri jauh ke belakang, ternyata yang paling endominasi adalah paham kenihilan (nihilisme) dan relativisme Barat post modern. Pluralisme mengandung dua makna, pertama, pengakuan terhadap kemajemukan, kedua, doktrin yang berisi pernyataan tidak ada jalan untuk menyatakan kebenaran tunggal, tidak ada pendapat yang mutlak benar bahkan semua pendapat sama benarnya.

Dalam ranah aplikasi, para propagandis pluralisme agama ini, berseru selantang-lantangnya agar tak satupun agama, keyakinan atau kepercayaan yang boleh mengklaim sebagai ‘pemilik tunggal’ kebenaran. ’Mereka mempertanyakan berbagai keyakinan mendasar yang sudah berurat dan berakar diyakini oleh umat.” Apa salahnya nikah beda agama, mengapa tidak boleh nikah mut’ah?”, “di mana letak kelirunya mengucapkan selamat hari raya bagi umat agama lain?” bukankah semua agama sama?, “Atas dasar apa Anda menyesatkan Ahmadiyah?”. Jadi tidak ada yang mutlak benar dan tidak ada yang mutlak salah, “semua relatif”! Lebih dari itu “Semua adalah relatif” kemudian menjadi sebuah kerangka berpikir. “Berpikirlah yang benar, tapi jangan merasa benar sendiri”, sebab kebenaran itu relatif. “Jangan terlalu lantang bicara kebenaran, dan jangan menegur yang ‘salah’, karena kebenaran itu relatif. “Benar menurut Anda belum tentu benar bagi kami”, semua adalah relatif. Kalau Anda mengimani sesuatu jangan terlalu yakin keimanan anda benar, iman orang lain mungkin juga benar. Intinya semua diarahkan agar tidak merasa pasti tentang kebenaran.

Abraham Lincoln punya kata bijak, “No one has the right to choose to do what is wrong”, tentu akan terpental jika dihadapkan dengan kerangka pikir ini. Hadis Nabi saw, manra’a ra’a minkum munkaranÖdst bukan hanya menyalahi kerangka pikir ini, tapi justru menambah’poin panjang’kriteria Islam sebagai agama jahat (evil religion) versi Charles Kimbal.

Akhirnya, pluralisme dalam makna puncaknya sudah tidak berpegang pada suatu dasar apapun. Masyarakat harus menerima kenyataan bahwa di sana tidak ada kebenaran tunggal. Artinya semua benar; atau masyarakat tidak boleh memiliki keyakinan bahwa agama dan kepercayaan mereka itu benar atau paling benar. Bahkan dalam satu pengertian pluralisme mengajarkan bahwa sebenarnya kebenaran itu tidak ada.

Pluralisme tidak bisa dilepas dari postmodern Barat sebab yang kedua ini sangat kental diwarnai oleh pluralisme. Itulah sebabnya postmodernisme senantiasa menyasar fundamentalisme sebagai musuh utamanya. Senjata ampuh dalam menghadang kebangkitan agama adalah ‘pedang pluralisme’ yang bermata ganda yaitu nihilisme dan relativisme. Dengan ini,tampak dengan kasat mata bahwa pluralisme menjadikan agama dan kepercayaan sebagai target utamanya. Ada pendapat yang sedikit ekstrim, yaitu sosiolog Amerika Peter Ludwig Berger dalam bukunya The Desecularization of the World, dengan gamblang ia menyatakan bahwa sekularisasi telah gagal, praktik keagamaan ternyata justru berkecambah subur dan desekularisasi malah dominan. Sebab itu, dalam bukunya yang lain, The Social Construction of Reality ia mengusulkan gantinya, yaitu penyebaran paham pluralisme. Tokoh lain yang tidak kalah gamblangnya mencanangkan Pluralisme bukan saja beraplikasi toleransi tanpa batas tapi ia diharap bisa berwujud “peleburan” agamaagama menjadi “agama baru” yang merupakan realitas kebenaran yang plural (Diana L.Eck,The Challenge of Pluralism)

Dalam perjalanannya, doktrin pluralisme agama ini pun kini disebar dalam berbagai wacana pemikiran Islam. Sayang, banyak cendekiawan yang keliru memahami dan memaknai Pluralisme Agama ini. Ada yang memahami doktrinnya dan mempunyai agenda tersendiri untuk menyebarkan paham ini. Ada pula yang kemudian mencari-cari pembenaran atas paham ini dengan menjungkirbalikkan makna dan kandungan ayat-ayat alquran dan hadits Nabi tertentu. Tapi, ini yang paling kasihan, ada juga yang tidak memahami doktrinnya,namun justru tergiring bahkan menjadi pengecer wacana yang malang melintang tanpa arah ini.

Islam sebenarnya mengakui perbedaan dan identitas agama masing-masing (lakum dinukum
waliyadin). Adapun paham pluralisme agama didedikasikan untuk menghilangkan konflik dan sekaligus mnghilangkan perbedaan dan identitas agama yang sudah ada

Dari Pluralisme ke Relativisme
Unsur utama pluralisme agama adalah relativisme, “semua adalah relatif”. Jargon “semua adalah relatif” seakan menjadi wahyu tanpa agama. Seperti undang-undang tanpa penguasa. Slogan ini menjadi penyejuk mata bagi pemuja syahwat. Baik buruk, salah benar, porno tidak porno, sopan kurang sopan,
bahkan dosa dan tidak dosa menjadi serba nisbi. Tergantung siapa yang menilai!

Slogan relativisme ini sebenarnya lahir dari rahim kebencian. Kebencian Pemikir Barat modern terhadap agama. Mereka Benci terhadap sesuatu yang mutlak dan mengikat. Generasi postmodernis pun mewarisi
kebencian ini. Tapi semua orang tahu, kebencian tidak pernah bisa menghasilkan kearifan dan kebenaran. Bukankah orang bijak mengatakan “Persahabatan dan persaudaraan tidak selamanyabisa kompromi dengan kebenaran. Saat Aristoteles diperhadapkan pada dua pilihan antara persahabatan dan kebenaran,
filsuf Yunani ini rela memilih kebenaran dari pada persahabatan.

Slogan “Semua adalah relatif” kemudian diarahkan menjadi kesimpulan “Di sana tidak
ada kebenaran mutlak” (There exists no Absolute Truth)”. Kebenaran, moralitas, nilai danlain-lain adalah relatif belaka. Tapi karena asalnya adalah kebencian maka ia menjadi tidak logis. Jika Anda berkata “Tidak ada kebenaran mutlak” maka kata-kata Anda itu sendiri sudah mutlak, padahal Anda bilang “semua relatif”. Kalau Anda mengatakan “semua relatif” atau “Semua kebenaran adalah relatif” maka dengan sendirinya pernyataan Anda itu juga relatif alias tidak absolut. Kalau “semua adalah relatif” maka yang mengatakan “di sana ada kebenaran mutlak” sama benarnya dengan yang menyatakan “di sana tidak ada kebenaran mutlak”. Tapi tampaknya ungkapan ini sangat absurd.

Para artis, terutama di negeri Muslim, ikut menikmati slogan ini. Dengan ekspresi penuh emosi dan marah ada yang berteriak “Semuanya benar dan harus dihormati”. Membuka aurat dan yang menutup sama baiknya.

07.34 | Posted in | Read More »

sahabat

03.01 | Posted in , , | Read More »

Negeri Impian

Bukan salahmu nak engkau terlahir dari bunda Indonesia dan ayah Belanda dan bukan salah ayahbundamu juga tapi itulah suratan takdirmu yang telah diatur oleh yang Maha Pengatur.
Memang waktu engkau di kandunganku, segala cita-cita dan impianku sangatlah muluk. Aku ingin mendidikmu dengan budaya negeriku yang kaya dengan nilai-nilai adiluhung, yang kuanggap terbaik dari nilai budaya ayahmu. Aku ingin walaupun engkau terlahir dan dibesarkan di negeri dengan sejuta tulip ini, engkau tetap anak Indonesia dengan adat dan budaya Indonesia. Memang itu mungkin terlalu muluk buatmu.
Waktu kau masih dalam buaian, kuninabobokan kau dengan lagu-lagu kebangsaanku. ‘Rayuan Pulau Kelapa’, ‘Indonesia Pusaka’ dan ’Tanah Airku’ selalu menghantarkanmu ke alam mimpi indah negeri zamrud khatulistiwa.
Waktu kau mulai bisa berkata kuajarkan kau bahasaku, bahasa ibumu karena aku ingin anakku harus mengenal bahasa ibunya. Sangat disayangkan kalau engkau tidak mengenal bahasa ibumu setelah kau besar nanti. Seperti anak-anak campuran Indonesia lainnya yang merasa asing dengan bahasa dan budaya ibu atau bapaknya. Aku tidak mau hal itu terjadi padamu nak. Aku tak mau jikalau kau besar terpaksa harus belajar bahasa ibumu lewat kursus, yang seharusnya kau dapatkan secara cuma-cuma dari ibumu sendiri. Sangat disayangkan kalau hal itu terjadi padamu.
Aku ingin kelak kala kau ku ajak ke negri leluhurmu, kau bisa langsung bergaul dan bercanda ria dengan mereka. Kau tidak merasa asing dan terasing.
Memang semua yang muluk-muluk itu kadang kala tidaklah semudah yang diangankan. Berbenturan dua budaya dalam dirimu dan dalam mendidikmu merupakan lantunan aneka musik yang penuh warna. Kadang ada nada sendu mendayu-dayu kadang hentakkan alunan musik keras yang berdentam deras, semuanya penuh makna.
Kuingat ketika usiamu menjelang tujuh bulan ayahmu ingin mendidikmu dengan cara Belandanya. Ia ingin kau mandiri nak, jadi sejak bayi kau harus tidur sendiri di kamarmu di tempat tidurmu. Suatu hari diawal malam dimana waktu tidurmu sudah tiba, digendongnya kau ke kamarmu, digantikannya popokmu, dipakaikan baju tidur kemudian ditidurkannya kau di tempat tidurmu sambil ia bacakan sepotong cerita untukmu. Akan tetapi begitu cerita itu usai kau belum tidur jua karena kau merasa tidak biasa dengan cara ayahmu. Kemudian kau ditinggalkan dan hanya ditemani dengan temaramnya lampu tidur. Begitu ayahmu menutup pintu kamarmu yang kudengar jerit tangismu yang tidak menerima sikap ayahmu itu.
Waktu kutanyakan pada ayahmu tentang caranya itu dijawabnya; “Biarkan dulu, menurut teori mendidik anak dari buku yang kubaca, malam pertama dia akan menangis kira-kira setengah jam, malam kedua seperempat jam dan malam ketiga dia bisa langsung tidur terpejam”.
“Ha…ha…ha…!” gelak tawaku membahana.
“Apakah cara berpikir seperti itu sudah dibuktikan kepada puluhan bayi-bayi atau bahkan ratusan? Setiap bayi punya sifat bawaannya sendiri dan tidak bisa disamakan” sangkalku.
Tapi ayahmu tetap membatu dengan pendiriannya itu, walaupun hatiku terenyuh mendengar jerit tangismu kupendam itu semua. Aku juga ingin membuktikan apakah teorinya itu benar.
Malam itu memang engkau menangis sekitar setengah jam kemudian kau kecapaian dan terlelap tidur. Malam kedua ayahmu berbuat hal yang sama, setelah kau ditinggalkan, kau menangis seperempat jam kemudian jatuh tertidur. Ayahmu tersenyum bangga padaku dengan senyum kemenangan bahwa caranya itu benar. Aku masih sempat berkata padanya; “kita lihat saja nanti dua malam sangat terlalu dini dalam membuktikan suatu teori”.
Malam ketiga dilakukannya juga cara yang sama, tapi begitu kau digendongnya dan dibawa ke kamar kau sudah menjerit-jerit menangis, kau menolak tapi ayahmu tetap dengan sikapnya. Setelah dibacakan cerita untukmu dan kemudian ditinggalkannya kau sendirian di kamar tidurmu suara tangismu masih lantang terdengar. Ditunggu seperempat jam berlalu, setengah jam lewat namun kau tak kunjung diam engkau menangis dan tetap terus menangis……
Naluri keibuanku pun muncul kukatakan kepada ayahmu bahwa ternyata cara seperti itu tidak bisa buatmu dan aku ingin mengambilmu karena aku tidak tahan lagi mendengar tangismu.
“Jangan, biarkan saja dulu dia kan anak Belanda dia harus mandiri tidak boleh manja” cegah ayahmu.
“Anak Belanda? Siapa bilang dia anak Belanda, dia keluar dari perutku koq, dari perut seorang ibu Indonesia” jawabku sambil menggerutu dan terus berlalu. Ayahmu tak bisa berbuat apa-apa hanya bisa nyengir kuda kehabisan kata.
Kuambil kau di kamar tidurmu dan kudekap, kau pun membalasnya dengan rangkulan erat tangan-tangan kecilmu di leherku seakan berucap “jangan tinggalkan aku sendiri bunda….”
Itulah sekelumit kisah kami mendidikmu anakku, kadang ayah bundamu berbeda pendapat tapi banyak juga yang seiring dan sepakat. Karena banyak juga cara dan budaya Belanda dalam mendidik anak yang bagus seperti, mandiri, disiplin, tanggungjawab dan lain-lain.
Hari berganti minggu, minggu menjadi bulan, bulan beralih tahun engkau pun mulai tumbuh kembang, sudah bisa berjalan dan berbicara sepatah dua patah kata. Lagu-lagu kebangsaanku pengantar tidurmu kuganti dengan cerita-cerita menarik tentang negeri impian nun jauh di sana di garis khatulistiwa. Negeri yang hangat bermandikan cahaya mentari, negeri ribuan pulau-pulau yang dikelilingi lautan nan biru. Negeri yang subur alamnya, kaya dengan tetumbuhan dan hewannya. Negeri nan elok pemandangan alamnya dengan gunung-gunung yang menjulang tinggi, pantai yang landai indah menawan yang kesemuanya tiada taranya di dunia ini, disanjung dan dipuja oleh manusia yang pernah singgah ke sana sejak dari dahulu kala.
Penduduknya anakku, penduduknya yang ramah, senang bercanda, mempunyai tata krama dan sopan santun, suatu warisan yang diajarkan turun temurun. Mencintai anak dan balita, menghargai yang muda menghormati yang tua. Siap menolong dan senang bergotong royong. ‘Sakit sama dirasa, berat sama dipikul’ itulah semboyan mereka dalam hidup bertetangga.
Negeri dengan berjuta bahasa dan ragam budayanya, beraneka macam aliran agama semuanya dipersatukan dengan semboyan ‘Bhineka Tunggal Ika’ nya. Walapun kami berbeda-beda namun satu adanya.
Itulah negeri impian anakku nun jauh di sana di garis khatulistiwa yang bernama Indonesia. Siang malam kusanjung dia anakku, negeri dimana aku dilahirkan dan dibesarkan. Negeri dimana masa kanak-kanakku kuhabiskan dengan bebas bermain keluar masuk hutan kebun dan ngarai, berenang dikolong dan sungai, bercanda dengan lumpur dan ombak pasir pantai.
Engkau ternganga kagum mendengar ceritaku, mulut mungilmu bulat bundar, bola matamu berbinar-binar, cerita menawan tentang negri impian di ingatanmu tak pernah pudar.
Suatu ketika engkau pernah bertanya, diselah-selah ceritaku, “Bunda kenapa kita tidak tinggal di sana saja, pasti sangat menyenangkan aku tidak akan pernah kedinginan lagi seperti di sini”.
“Yah keinginan bunda juga begitu nak tapi susah untuk medapatkan pekerjaan buat orang asing seperti ayahmu.”
“Gampang saja ayah bisa jualan es keliling seperti cerita bunda tentang tukang es keliling, pasti laku dan aku juga bisa makan es setiap hari.”
“Ha…ha…ha…! anakku kau lucu” kudekap engkau dalam pelukanku.
Atau ketika kau tak bisa memejamkan mata karena ceritaku masih menggantung di anganmu, kau berkata, “Bunda kenapa bunda dulu tidak menikah dengan orang Indonesia saja, biar kita tinggalnya di sana…”
Duhai anakku engkau merasa satu bagian denganku. Kau merasa ayahmu orang asing yang terpisah darimu. Tidak anakku, kalau lah kau tahu seandainya bundamu ini menikah dengan orang negeriku tentu anaknya bukan dikau sayangku.
***
Suatu hari ketika usiamu beranjak sepuluh tahun. Dimana kau sudah mulai belajar mengenal arti kehidupan. Bisa membedakan yang mana baik dan buruk. Sudah mulai bisa berpikir dan menilai. Dimana ungkapan rasa dan perasaan sudah bisah kau cerna. Ku ajak kau ke negri impian itu. Kau sambut gembira dengan berjuta rasa dan berjuta asa.
“Melihat negeri bak surga siapa takuuut?” canda mu. Hatimu berbunga-bunga, tidurmu tak lagi lena. Dihantui pikiran melihat negeri impian Indonesia.
Waktu kau menginjakkan kaki pertama kali di bumi Indonesia, kau disambut dengan udara panas tiga puluh derajat. Hiruk pikuk tuter mobil pribadi dan taksi yang berseliweran dan parkir sembarangan di Bandara membuat mu terpana. Bau knalpot kendaraan dan rebutan tukang angkat dan calo-calo taksi menyesakkanmu. Kulihat kau bingung dan lelah. Lelah dengan perjalanan panjang yang telah kita tempuh dan suasana yang kurang bersahabat. Di tempat peristirahatan kau jatuh tidur terlelap.
Hari-hari selanjutnya kuajak kau berjalan-jalan melihat keindahan negeri leluhurmu. Kita bertiga berjalan menyusuri jalan setapak mencari jejak langkah masa kecilku dulu…
Tapi….dimana hutan-hutanku dulu? Dimana kebun-kebun jagung, singkong, kacang dan sayuran yang ditanam para petani? Dimana kolong-kolong kecil tempatku memancing ikan dan bermain air dulu? Dimana sungai dengan air yang mengalir jernih di selah-selah bebatuan tempatku bersama teman-teman kecilku mandi dulu? Dimana…? Dimana itu semua……? Langkahku mulai tersendat, krongkonganku tercekat, suaraku bergetar, tatap mataku nanar…….!
Nak, apa yang harus kuceritakan padamu? Di hadapan kita hanyalah tanah-tanah yang gersang. Hutan yang gundul dan nun jauh di ujung sana masih tersisa asap bakaran. Kebun-kebun itu sudah berubah menjadi bangunan rumah penduduk yang berdiri tidak beraturan. Air sungai yang jernih dulu berganti warna kelabu berbau busuk. Mengalir terseok bercampur lumpur, sampah dan limbah pabrik karet dan kayu lapis di hulu sana….!
“Bunda….dimana binatang-binatang hutan itu kini? Apakah mereka sempat menyelamatkan diri disaat pohon-pohon ditebang atau lingkungan hidup mereka
dibakar? Apakah masih ada ikan yang hidup di air yang begitu keruh?” tanyamu begitu lirih.
“Entah lah nak bunda juga tidak tahu, semoga mereka masih tersisa bertahan hidup di tempat yang jauh dari jangkauan tangan-tangan jahil manusia….”.
Semuanya begitu berubah lima belas tahun berlalu membuat semuanya berubah begitu mencolok nak …. Aku tahu engkau pasti kecewa seperti juga bundamu ini….! Jejak-jejak masa kanakku telah hilang meninggalkan perih yang mendalam di dada ini.
Sewaktu kita berjalan menuju pulang, di satu warung kecil di pinggir jalan setapak kau melihat seekor anak monyet yang lehernya dikalungi dengan seutas tali plastik sepanjang kira-kira satu meter. Ujung tali tersebut terikat dikaki bangku kayu yang tertanam ke tanah. Anak monyet itu tidak bisa bergerak leluasa lebih dari satu meter.
“Bunda kasihan sekali monyet itu” katamu sambil berlari mendekatinya. Kau ulurkan tanganmu, anak monyet itu melompat kepangkuanmu dan memelukmu. Mata kuning kecoklatannya berbinar-binar bersih menatapmu. Ternyata pemilik monyet itu adalah gadis kecil seusiamu. Kalian pun mulai terlibat dalam perbincangan.
“Lucu monyetnya dari mana kamu dapat dan dimana induknya?”
“Oh anak monyet ini ditemukan bapakku ketika pergi ke hutan di sana” kata gadis kecil itu sambil menunjuk ke arah sisa asap yang masih mengepul.
“Dia ditinggalkan induknya, mungkin induknya mati atau lari saat orang membakar hutan”. Lanjutnya tanpa ada rasa duka, nadanya datar dan biasa.
Tapi itu bukan biasa bagimu nak, ceritanya menoreh luka di lubuk hatimu. Matamu berkaca-kaca sambil tetap menunduk membelai monyet yang malang itu. Engkau sedih dan marah, tapi kau pun tak mau kawan barumu tahu dan bingung dengan perasaanmu.
Suatu kali disaat kita berjalan di pusat perbelanjaan, kita pernah menyaksikan dua pelajar seragam SMU lari dikejar-kejar oleh segerombolan pelajar dengan seragam yang sama juga, ada yang membawa pisau, kayu dll. Kita berhenti bingung apa yang terjadi.
“Ah biasalah bu, pelajar tauran, akhir-akhir ini lagi ‘ngetren’ pelajar tauran” kata seorang pelayan toko datar, melihat sikap kita yang bengong.
Dilain hari kita dikejutkan dengan orang-orang berlari mengejar pencopet sambil berteriak;
“Copet…copet …tangkap….!”
“Hajar….!”
“pukul…!”
“Sikaat..!”
Tidak seberapa lama berselang sicopet digelandang ramai-ramai dengan muka dan hidung berdarah-darah bak orang kalah tinju.
“Kenapa gak dibakar aja sekalian, biar tau rasa …” celetuk seorang laki-laki, lagi-lagi dengan nada yang datar sambil berlalu.
Ya Tuhanku…! di negeri manakah kita ini berada anakku, kita tidak sedang bermimpi. Inilah Indonesiaku nak, Indonesia yang kubangga-banggakan padamu dengan penduduknya yang santun yang berbudaya dan beradab……
***
Di atas pesawat yang membawa kita kembali ke Belanda, kulihat kau melamun dan kadang-kadang menghela nafas panjang. Aku ingin sekali menanyakan apa yang kau pikirkan, tapi kutahan aku tidak ingin mengganggu lamunanmu sampai akhirnya…
“Bunda…!” panggilmu lirih diselah-selah deru mesin pesawat.
“Aku kadang-kadang bingung, aku ini anak Indonesia atau anak Belanda…”
Setelah menarik nafas dalam kau lanjutkan perkataanmu yang terpotong. “Setelahku pikir-pikir aku bangga menjadi anak Indonesia, tapi…aku lebih bangga menjadi anak Belanda…”
Kau tatap mataku menanti perubahan sikapku.
Aku hanya bisa tersenyum kecut mendengar pernyataanmu lewat permainan kata-katamu itu. Kupandang wajah polosmu itu nak! Kau takut membuat bundamu berduka tapi kau pun tak mau menyembunyikan kegalauan perasaanmu. Kurangkul kepalamu ke dadaku kucium rambutmu dan kulirik ayahmu. Kulihat ayahmu berpura-pura tidur seakan tidak mendengar perkataanmu, tapi kulihat disudut bibirnya tersungging seulas senyuman, senyum kemenangan, senyum kebanggaan….
Yah… kalian memang pantas bangga dengan tanah air kalian……….!

02.53 | Posted in , , | Read More »

Blog Archive

Recently Commented

Recently Added