MOST RECENT

MEMBUMIKAN AKHLAK MULIA DI INSTITUSI PENDIDIKAN


"Karakter seorang anak terbentuk terutama pada saat dia berusia 3 hingga 10 tahun. Adalah tugas kita sebagai orang tua untuk menentukan input seperti apa yang masuk ke dalam pikirannya, sehingga bisa membentuk karakter anak yang berkualitas"- Sonny Vinn –

Guru adalah sosok yang mampu membentuk karakter pemimpin masa depan. Karena kemajuan masa depan bangsa tidak lepas dari peran seorang guru. Gurulah sosok yang mampu mencerdaskan dan membimbing anak bangsa menuju cita-citanya yang mulia.
Namun sangat disayangkan, guru yang sejatinya mampu memberikan kontribusi terhadap progresifitas bangsa, justeru terkadang tercemari oleh perilaku oknum yang tidak sepantasnya dilakukan oleh seorang guru, yakni tindak kekerasan pada anak didik.
Berdasarkan data Republika (24/10/2008) dinyatakan bahwa kekerasan terhadap anak diduduki oleh guru sebagai peringkat tertinggi. Hal ini didasarkan dari catatan Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI), bahwa kekerasan terhadap anak yang dilakukan oleh pendidik atau guru justru yang tertinggi. Penelitian KPAI selama enam bulan pada tahun 2008 sudah tercatat 86 kekerasan terhadap anak. Yang mengherankan, justru 39% kekerasan dilakukan orang terdekat, khususnya guru. Sementara data yang diperoleh pada tahun 2007, tercatat 555 kekerasan terhadap anak. Dan yang mengagetkan, sebanyak 11,8% kekerasan justru dilakukan oleh guru terhadap anak-anak muridnya. Data tersebut sungguh mengejutkan. Guru yang sejatinya sebagai pembentuk karakter bangsa, justeru mengajarkan kekerasan terhadap anak didiknya.
Begitupun anak didik yang sejatinya mencerminkan kependidikannya, justeru terkadang sebaliknya; tawuran antar siswa - yang terkadang sebagian mereka membawa senjata tajam, sikap anarkis mahasiswa, tawuran antar mahasiswa dan kenakalan-kenakalan lainnya yang dilakukan oleh para penuntut ilmu. Hiruk pikuk perilaku pelajar yang menyimpang dari norma-norma kehidupan sosial seperti ini, tidak lepas bahwa dunia pendidikan secara tidak sadar juga mempunyai andil ikut menanamkan saham perilaku tersebut.
Karena itulah, melihat fenomena ini, pemerintah berinisiatif mencanangkan gerakan nasional akhlak mulia. Gerakan akhlak mulia yang dimaksud adalah menggerakkan pendidikan berbasis moral yang berlaku bagi semua masyarakat dan perilaku tersebut harus dimulai dari sekolah.
Dunia pendidikan tidak bisa hanya diinterpretasikan sebagai tempat mengais rejeki saja dan hanya menekankan pengajaran keilmuan saja, melainkan mendidik dan menanamkan nilai-nilai kehidupan yang bermakna adalah sangat penting untuk menghindarkan pelajar dari malapetaka kehidupan.
Harus ada budaya di sekolah yang mencerminkan dan menanamkan akhlak mulia ke dalam internalisasi nilai-nilai di sekolah. Budaya sekolah (school culture) bisa dimulai dengan melakukan kebiasaan-kebiasaan santun. Dari kebiasaan itu akan membentuk tradisi, kemudian menjadi budaya sebagai pembentuk peradaban.
Semua perilaku aktif dan pasif merupakan bagian dari pembentukan budaya sekolah. Ruang batin anak di sekolah harus diisi oleh gurunya. Guru tidak cukup hanya mengajarkan tetapi harus melakukan keteladanan. Jadi guru harus melakukan keteladanan kepada anak didiknya selama berada di sekolah. Pentingnya akhlak mulia ini sangat ditekankan dalam Undang-undang Sistem Pendidikan Nasional No. 20 tahun 2003.

Membumikan Akhlak Mulia Melalui Habits Forming
Nilai-nilai moralitas di sekolah tidak begitu saja hadir dengan sendirinya. Ia butuh proses yang perlu dilaksanakan oleh semua citivas academika institusi pendidikan. Proses ini secara sadar dan penuh tanggungjawab dilakukan oleh semua individu, terutama guru. Karena gurulah sosok sentral yang akan dilihat, dipandang dan dicontoh oleh anak didiknya. Proses yang dilakukan adalah melalui kegiatan Habits Forming, yaitu kegiatan berupa pembiasaan hidup positif, yang dilatihkan kepada anak didik yang terinspirasi dari buku “The Seven Habits Highly Effective People” karya Steven R Cover.
Kenapa harus guru sebagai teladan? Kita pernah mendengar sebuah istilah dalam dunia fauna "Monkey See, Monkey Do", yang berarti seekor monyet biasanya akan bertindak berdasarkan apa yang telah dilihatnya. Atau istilah “air cucuran atap jatuhnya ke pelimbahan juga” yang berarti apa yang diajarkan oleh orang tua atau guru, akan masuk ke dalam memori dan perilaku anak.
Begitulah karakteristik seorang anak. Perilaku anak terbentuk melalui proses pembelajaran sosial (social learning process) terutama melalui mekanisme imitasi (modeling). Imitasi adalah mekanisme pembelajaran dengan cara menirukan, mencontoh dari model yang dilihat, didengar dan dipersepsikannya. Guru sebagai model adalah obyek yang paling dekat untuk ditiru oleh anak didik. Oleh karena itu guru sebagai prime model bagi pembelajaran anak harus ektra dan super hati-hati dalam berucap, berperilaku dan bertindak di hadapan anak didiknya. Kita perlu selalu ingat bahwa anak adalah imitator ulung yang tiada taranya. Dengan kata lain, dalam proses tumbuh kembang anak, guru harus mampu menjadi uswah khasanah (suri tauladan) bagi anak didiknya.
Karena itulah anak perlu figur seorang tokoh yang dikagumi, yang akan ditiru di dalam tindakan sehari-harinya. Pilihan utamanya biasanya akan jatuh pada orang tua dan guru. Dan seorang anak akan lebih percaya pada apa yang dilihat daripada apa yang dikatakan orang tua atau gurunya.
Jadi saat mengatakan suatu nasehat, misalnya jangan terlambat masuk ke sekolah, tapi gurunya sendiri telat datang ke sekolah atau dilarang merokok, justeru gurunya dengan leluasa merokok di dalam kantor atau bahkan mengajar sambil merokok, jelas ini bukan cara mendidik yang baik. Ajarkan sesuatu melalui contoh yang baik, dengan tindakan kita sendiri, akan membuat anak meniru dan mengembangkannya menjadi suatu kebiasaan dan karakter di dalam pertumbuhannya.
Yang pasti, apa pun yang dilakukan guru jelas akan menularkan sikap tertentu yang akan ditiru siswa-siswanya. Guru yang semangat, tentulah akan menularkan semangat pada siswanya. Begitu pula guru yang pesimistis, tentu akan mendapatkan siswanya dalam keadaan pesimistis. Guru yang bijak dan empatik justeru akan menular kepada murid-muridnya, begitupun sebaliknya; guru yang galak dan kasar, suka mengejek, suka memaksa, sering menghukum dan mengancam, justeru akan melukai perasaan anak yang pada akhirnya melahirkan anak yang mempunyai sifat pemberontak, pemarah, pendendam, pesimis dan sifat-sifat negatif lainnya.
Maka, seorang guru hendaknya memiliki karakter dan kepribadian yang baik dan mengajarkan sesuatu yang bernilai kebaikan. Tidak hanya itu, akan tetapi juga menjalankan, mengamalkan, dan mempraktikkannya. Guru juga hendaknya bersikap profesional, yaitu menjadi pembelajar aktif, dalam artian mau belajar dengan sungguh-sungguh, serius, efektif dan efisien serta memiliki kompetensi atau keahlian di bidangnya.
Dalam membentuk habits forming atau pembiasaan-pembiasaan yang baik dan bernilai, budaya-budaya seperti berikut ini sangatlah baik bila dilakukan oleh semua elemen citivas academika. Budaya tersebut adalah: “FOR CHILDREN” yang berarti Fleksibel (tidak kaku), Optimis (yakin), Respek (menghargai), Cekatan (terampil), Humoris (gembira/semangat), Inspiratif (banyak ide), Lembut (penuh kasih sayang), Disiplin (serius), Responsif (cepat tanggap), Empatik (peduli), dan Nge-friend (bersahabat).
Karenanya, habits forming seperti itu perlu terus ditanamkan dan dipupuk di tengah-tengah anak didik. Sehingga nilai-nilai baik itu bukan hanya sekedar wacana dan melangit, tetapi juga sudah membumi dan terinternalisasi dalam semua elemen yang ada di institusi pendidikan.
Memang, sudah saatnya kita merubah metode mendidik anak yang sebelumnya menggunakan bahasa perintah, larangan dan ancaman dalam memberikan nasehat menjadi bahasa yang baik, santun dan menyejukkan yaitu bahasa hati. Sebagaimana dalam firman Allah, al-Qur’an surat an-Nahl (16) ayat 125, “Serulah (manusia) kepada jalan Tuhan-mu dengan hikmah dan pelajaran yang baik dan bantahlah mereka dengan cara yang baik…,” 
Kita tentunya masih ingat apa yang dikatakan orang tua kita, “bahasa yang dikeluarkan dari hati maka akan masuk ke dalam hati”. Karena itu, seorang guru sepatutnya dan semestinya mengajarkan anak didiknya dengan bahasa hati bukan emosi. Sehingga guru benar-benar “digugu lan ditiru” diikuti dan ditiru oleh anak didiknya karena kebaikan-kebaikannya, bukan malah “diguyu lan turu” diketawai dan tidur. Diketawai karena perilaku negatifnya, dan tidur karena tidak menariknya mata pelajaran yang diajarkan, menjenuhkan dan membosankan.
Semoga dengan membumikan nilai-nilai moralitas di institusi pendidikan ini, akan menghantarkan anak didik menjadi seseorang yang bermartabat dan bermoral ketika kelak menjadi seorang pemimpin. Amin ya mujiibassaailin. Wallahu a’lam bishowab.

06.36 | Posted in | Read More »

AGAR RAMADHAN MEMPESONA BAGI ANAK


Abdul Qodir Zaelani, S.HI, MA

             Berkumandangnya ayat-ayat suci al-Quran, tadarusan, dan gemuruh suara amin menggema dan menghiasi tempat-tempat ibadah kaum muslimin di seluruh penjuru bangsa kita. Hampir semua masjid dan mushola dipenuhi orang-orang yang beribadah untuk sholat berjamaah. Terasa sekali nilai-nilai ruhiyah ada dalam sendi-sendi masyarakat kita pada bulan itu. Ya, Begitulah suasana bulan Ramadhan. Bulan yang mulia, bulan dimana segala amal perbuatan dilipatgandakan. Bulan dimana banyak orang berlomba-lomba untuk mengisi amal kebaikan. Bulan yang sangat berbeda suasananya dibanding bulan-bulan lainnya.
            Memang bulan Ramadhan adalah bulan yang dinanti-nantikan oleh seluruh umat Islam, tak terkecuali juga anak-anak. Sebab, pada bulan ini bagi anak-anak merupakan sarana untuk dapat berkumpul bersama; bermain kembang api, bermain mainan tradisional, bercanda gurau dan beberapa permainan lainnya yang dilakukan anak-anak. Apalagi menjelang lebaran, anak-anak akan senang sekali, karena akan mendapatkan baju baru.
Nah, pertanyaannya adalah bagaimana agar suasana Ramadhan berkesan dan mempesonakan anak-anak? Sebab, mengantarkan anak untuk berpuasa dan memahami maknanya, sungguh bukan pekerjaan yang mudah. Keberhasilan mengkondisikan anak, memerlukan persiapan sejak jauh-jauh hari. Untuk menjawab pertanyaan tersebut, ada dua langkah yang bisa kita lakukan sebagai orang tua, untuk merancang pola pendidikan terbaik bagi putra-putri kita selama bulan Ramadhan.

1.      Tarhib Ramadhan (Menyambut Ramadhan)
Menyambut ramadhan adalah langkah awal yang mesti dilakukan. Sebab dengan menyambut bulan ini, berarti kita senang, riang, ceria dan bahagia dengan kedatangan bulan Ramadhan. Seperti yang pernah dilakukan Rasulullah yakni ketika beliau menasehati Abdullah bin Mas'ud untuk menyambut Ramadhan dengan wajah yang berseri, tidak cemberut.
Dalam menyambut Ramadhan ini, ada dua persiapan yang perlu dilakukan oleh orang tua. Pertama adalah persiapan ruhani anak yakni membangkitkan semangat beribadah anak dengan cara menjelaskan keutamaan bulan Ramadhan. Ketika tahu keutamaan Ramadhan, maka apapun rintangannya akan mampu dihadapi anak dan anak akan lebih bersemangat dalam beramal. Salah satu cara untuk mengenalkan Ramadhan kepada anak-anak kita adalah dengan kita memilih cerita-cerita mengenai kisah-kisah menarik seputar Ramadhan, baik mengenai sahabat atau Rasulullah yang berjuang di bulan Ramadhan, atau menggambarkan suasana puasa dan keutamaan bagi yang menjalankannya.
Bisa juga dengan mengarang sendiri cerita yang ada hubungan dengan Ramadhan. Ini bisa dilakukan dengan cara menceritakan pengalaman kita menjalani ibadah puasa di masa kecil kita dulu. Kita juga bisa memperkenalkan Ramadhan dengan mainan juga, dengan cara main puzzle yang bernuansa Islami, atau cara lain adalah dengan membeli mainan untuk komputer yang interaktif.
Ini semua bisa kita mulai seminggu atau beberapa hari sebelum datangnya bulan Ramadhan. Tergantung pada umur anak, kita bisa sekaligus juga mengajak anak untuk membuat rencana kegiatan selama bulan Ramadhan nanti dan menentukan target-target yang ingin mereka capai. Kita juga harus memberi harapan bagi mereka untuk mencapai target-targetnya.
Dengan mengenalkan Ramadhan lewat cerita dan mainan, suasana Ramadhan sudah terbangun dalam alam pikiran anak. Sehingga ia akan mengharapkan kedatangan bulan ini dengan penuh semangat dan antusias.
Yang kedua adalah membangun suasana yang kondusif. Hal ini  penting, sebab merupakan bagian dari mempersiapkan segala sesuatu hal untuk kelancaran dan kekhusyuan ibadah Ramadhan serta akan dapat mempengaruhi semangat anak. Salah satu caranya adalah dengan mengubah penataan rumah. Misalnya mempersiapkan ruang khusus untuk sholat berjama'ah dan tadarus al-Qur'an. Ajak anak-anak menghiasi ruang tersebut dengan tulisan-tulisan kaligrafi dan gambar-gambar Islami. Cara lain adalah dengan mengubah letak permainan, tv, buku, atau majalah yang bersifat umum, dan diganti dengan majalah atau buku-buku Islami.
Kamar tidur anak dapat juga dihias dengan tulisan hadis, atau pun semboyan seputar puasa atau bulan Ramadhan, yang akan membangkitkan semangat mereka jika nanti menahan lapar dan haus ketika puasa. Tempelkan juga target dan jadwal kegiatan yang telah disusun bersama anak, dan persiapkan stiker bintang yang siap ditempel untuk setiap rencana yang berhasil dicapai oleh anak kita. Kerjakan bersama anak agar ia termotivasi untuk mendapatkan bintang sebanyak mungkin sampai akhir Ramadhan.
Bangun pula suasana keluarga yang harmonis dan agamis.  Ajak anak untuk saling memaafkan antara anggota keluarga, juga kerabat, tetangga dan teman adalah cara harmonisasi antar sesama. Hal ini merupakan sunnah yang dicontohkan oleh Rasulullah. Hal ini dilakukan agar saat memasuki Ramadhan, dosa kita dengan sesama manusia sudah terhapus. Sehingga pada bulan Ramadhan, kita tinggal menyelesaikan dosa kita kepada Allah Swt. Harapannya, ketika Ramadhan berakhir dan tiba hari raya Idul Fitri, kita benar-benar berada dalam keadaan suci kembali.

2.      Ihya Ramadhan (Menghidupkan Ramadhan)
Dalam sebuah hadis yang diriwayatkan oleh Bukhari dan Muslim, diceritakan "...dan kami melatih anak-anak kami yang masih kecil untuk berpuasa. Kami bawa mereka ke masjid dan kami buatkan mereka mainan dari bulu. Apabila diantara mereka ada yang merengek minta makan, maka kami bujuk dengan mainan itu terus hingga tiba waktu berbuka." Demikianlah cara para shahabat dalam menghidupkan suasana Ramadhan bagi anak-anak mereka. Cara yang kreatif dan unik, sehingga bulan Ramadhan benar-benar terasa bagi anak-anak.
Menghidupkan Ramadhan merupakan aktivitas yang dapat mendekatkan diri dan keluarga kepada Allah. Cara untuk dapat menghidupkan bulan Ramadhan yakni dengan menjaga kebersamaan antar anggota keluarga, dengan cara menghidupkan suasana fastabiqul khoirot (berlomba-lomba dalam melaksanakan kebaikan), membiasakan saling menasehati dalam kebenaran, bekerjasama dan saling tolong menolong dalam beramal shalih.
Membiasakan anak melakukan shalat terawih berjama'ah di masjid, bisa menjadikannya sebagai pengalaman yang tak terlupakan. Tadarrus al-Qur'an dan mabit (menginap) di mushalla untuk i'tikaf, mengikuti pesantren Ramadhan, ikut berkeliling kampung membangunkan orang untuk makan sahur, mengajak berbuka bersama dengan teman-teman baik di rumah atau pun di masjid, kesemuanya itu akan sangat menarik bagi anak-anak karena kegiatan seperti ini hanya ada dalam bulan Ramadhan.
Mengajak anak-anak makan sahur bersama juga merupakan cara menghidupkan suasana Ramadhan. Untuk menarik minat anak dalam bersahur, siapkan menu makanan kegemarannya dan susun menu dengan baik. Penyusunan menu dilakukan untuk menghindari terjadinya kekurangan zat gizi pada anak. Kecukupan gizi pada anak akan terpenuhi apabila saat berbuka dan makan sahur mereka mengkonsumsi makanan yang beragam dalam jumlah yang cukup.
Buat suasana sahur menyenangkan sehingga anak-anak tidak merasa berat bangun tengah malam. Biarkan anak makan di akhir waktu sahur. Pada awal puasa, biarkan mereka mencoba dulu puasa hanya setengah hari dan akan berbuka pada tengah hari. Hal ini wajar karena masih dalam tahap latihan. Dengan cara latihan yang bertahap seperti ini, si anak tidak merasa berat lagi untuk melakukan puasa.
Memberikan hadiah harian dan bulanan pada anak juga merupakan stimulus untuk menghidupkan bulan Ramadhan. Memberi hadiah atas usaha anak untuk berpuasa pun bisa menambah motivasi. Kepada anak berusia di atas tujuh tahun, imbalan hadiah di akhir bulan Ramadhan akan cukup membuat mereka bersemangat. Akan tetapi bagi anak yang lebih kecil, akan lebih efektif jika hadiah harian pun mereka terima. Hadiah harian bisa berupa barang sederhana, atau bahkan hanya berupa bintang dari kertas emas yang ditempel di dinding.
Janjikan sebuah hadiah jika bintang mereka mencapai sepuluh, dua puluh, atau tiga puluh. Hadiah bulanan bisa merupakan kelanjutan dari hadiah harian, dan merupakan satu jenis kebutuhan yang sangat diharap-harapkan anak-anak. Katakan bahwa hadiah itu adalah pertanda kemenangan bagi usaha mereka mengalahkan hawa nafsu.
Demikanlah beberapa langkah yang perlu dipersiapkan orang tua dalam mendidik anak-anaknya di bulan Ramadhan. Sehingga bulan Ramadhan, benar-benar mempesona bagi anak-anak dan menjadikannya sebuah kenangan yang indah, tak terlupakan hingga mereka dewasa nanti. Semoga, semarak Ramadhan tahun ini, dapat berjalan dengan baik dan anak-anak kita dapat menjalankannya dengan penuh semangat, khidmad, tanpa ada beban dan paksaan. Amin amin ya rabbal a’lamin. Marhaban Ya Ramadhan……Marhaban Ya Syahro Shiyam…. 

00.33 | Posted in | Read More »

AMANAT BAPAK BANGSA DALAM MENGISI KEMERDEKAAN


Oleh: Abdul Qodir Zaelani, MA 
(Pernah dimuat majalah bulanan "Media Pembinaan" bulan Agustus 2010 Kementerian Agama Kanwil Jawa Barat) 

“Dengan kehendak yang membulat menjadi satu, ketetapan hati yang menggumpal menjadi satu, tekad yang membaja menjadi satu, seluruh bangsa kita -kaya, miskin, tua, muda, laki, perempuan, terpelajar, buta huruf- seluruh bangsa kita bangkit, bergerak, berjuang untuk membenarkan, mewujudkan proklamasi 17 Agustus itu. Bala tentara Jepang yang telah hilang semangatnya, dapat kita desak dan enyahkan dari pemerintahan. Dalam beberapa minggu saja, seluruh pemerintahan di pulau-pulau Jawa dan Sumatera dan lain-lain, benar-benar di tangan kita. Dengan begitu, maka proklamasi kita bukan lagi satu janji dan tuntutan, bukan lagi satu seruan di awan-awan. Tetapi kemerdekaan kita menjadi satu kenyataan, Negara Republik Indonesia menjadi satu realita bagi dunia dan kemanusiaan…”, demikianlah Pidato Soekarno yang tertulis dalam bukunya “Di Bawah Bendera Revolusi”.
Pidato yang begitu semangat tersebut menyiratkan betapa besarnya harapan bangsa agar terbebas dari penjajahan. Harta, nyawa dan semua yang tersisa dalam diri bangsa akan terus dikorbankan. Sebab, Negara mana pun dan siapa pun di dunia ini tidak ingin dijajah. Karena penjajahan di atas bumi ini tidak sesuai dengan pri kemanusiaan.
Hanya bermodalkan semangat yang membaja dan dengan persenjataan yang seadanya, seluruh elemen bangsa turun tangan untuk berjuang mengenyahkan para penjajah. Bambu runcing dan pekikan takbir yang dikumandangkan pejuang bangsa, mampu membangkitkan jiwa mereka dan menggentarkan musuh-musuh dihadapannya. Meskipun musuh yang dilawannya menggunakan peralatan perang yang cukup canggih seperti meriam, bom, tank, pesawat perang, granat dan beberapa alat canggih lainnya, namun semua itu tidak menjadi sesuatu yang menakutkan. Sebab, hanya satu yang ingin diraih oleh bangsa kita yakni “MERDEKA”.
Berkat pertolongan dari yang Maha Kuasa dan semangat para pejuang bangsa, kemerdekaan itu dapat kita raih. Dan tatkala proklamasi menderu di udara, maka proklamasi itu bagai arus listrik yang dapat menggetarkan seluruh jiwa bangsa kita. Maka lahirlah kalimat semangat yang mendarah daging dalam diri para pejuang bangsa kita ketika itu, yakni “SEKALI MERDEKA TETAP MERDEKA”.
Kini, kita telah merdeka, terbebas dari para penjajah. Setengah abad lebih kita telah merasakan kemerdekaan, namun pertanyaannya adalah sudahkah bangsa kita merasakan kemerdekaan yang sesungguhnya: merdeka dari kemiskinan, kebodohan, ketidakberdayaan dan merdeka dari ketidakadilan?. Dan apa yang harus kita perbuat untuk mengisi kemerdekaan ini?
AMANAT BUNG KARNO DALAM MENGISI KEMERDEKAAN
“….Dan kita harus sabar, tak boleh bosan, ulet, terus menjalankan perjuangan, terus tahan menderita. Kita harus jantan!! Jangan putus asa, jangan kurang tabah, jangan kurang rajin. Ingat, memproklamirkan bangsa adalah gampang, tetapi menyusun Negara, mempertahankan Negara, memiliki Negara buat selama-lamanya itu adalah sukar. Hanya rakyat yang memenuhi syarat-syarat sebagaimana yang saya sebutkan tadi –rakyat yang ulet, rakyat yang tidak bosanan, rakyat yang tabah, rakyat yang jantan-, hanya  rakyat yang demikianlah dapat bernegara kekal dan abadi. Siapa yang ingin memiliki mutiara, harus ulet menahan-nahan nafas, dan berani terjun menyelami samudera yang sedalam-dalamnya. Marilah kita menjadi rakyat yang gemblengan!! Jangan lembek!! Segenap jiwaku, segenap rohku, memohon kepada Tuhan, supaya bangsa Indonesia menjadi satu, bangsa yang menjadi penjaga persaudaraan-persaudaraan dunia dan kesejahteraan dunia, satu bangsa yang kuat, yang ototnya kawat, dan balungnya besi, yang di dalam tubuhnya bersarang jiwa yang terbuat dari zat yang sama dengan zatnya halilintar dan guntur!!!!....”
Demikianlah Amanat Presiden Soekarno pada ulang tahun proklamasi kemerdekaan Indonesia, 17 Agustus 1946 di Jogjakarta. Amanat yang menggelorakan semangat dalam membangun bangsa. Amanat yang memberikan solusi dalam mengisi kemerdekaan. Amanat yang harus ditanamkan dalam diri semua elemen bangsa. Amanat yang harus dilestarikan dan diwariskan kepada pewaris bangsa.
Dengan amanat presiden tersebut, sejatinya bangsa kita tetap tegar dan terus berjuang untuk membayar utang luar negeri yang telah mencapai jumlah yang sungguh fantastis. Menurut  Oyos Saroso H.N dalam artikelnya “Sesat Pikir Anggaran DP”, utang luar negeri Indonesia per Maret 2010 sebesar Rp632,3 triliun. Dan untuk membayar cicilan pokok utang luar negeri sebesar Rp54,136 triliun saja kita termehek-mehek. Hal ini berdampak pada defisit APBNP 2010 yang harus dinaikkan dari 1,6% atau Rp98,009 triliun menjadi 2,1% atau Rp129,816 triliun.
Karena itu, sejatinya dan sebijaksananya, bangsa kita tidak lagi menambah utang, apalagi utang tersebut disebabkan pengeluaran anggaran yang tidak begitu penting. Negara seyogyanya berfikir bagaimana utang ini akan cepat berakhir, sehingga tidak mewariskan kepada anak bangsa, yang belum tentu merasakan hasil dari utang luar negeri tersebut.
Dengan amanat presiden tersebut, sejatinya bangsa kita mampu keluar dari politik kotor yang hanya mementingkan pribadi dan golongan. Yakni keluar dari politik machiavelist, yaitu faham politik yang menghalalkan berbagai cara untuk meraih kekuasaan, dengan kekuasaan itu bisa dijadikan aji mumpung untuk memperkaya diri sendiri dan golongan. Dan alangkah indahnya, jika para pemimpin bangsa turut turun tangan untuk membantu rakyat yang tidak berdaya dalam menghadapi dinamika kehidupan.
Dengan amanat presiden tersebut, seyogyanya bangsa mampu mensejahterakan rakyatnya dan mengeluarkan mereka dari kemiskinan. Sebab, kemiskinanlah yang akan menghantarkan seseorang kepada kekufuran. Dan kemiskinan pulalah seseorang bisa bertindak yang tidak wajar demi mengisi perut yang kosong. Dalam mengatasi kemiskinan ini, kita bisa belajar dari perjuangan seorang yang pantang menyerah dan mengorbankan jiwa raganya untuk mengentaskan kemiskinan. Dialah Muhammad Yunus.
Ketika bencana kelaparan menerpa negerinya, membuat beliau memutuskan keluar dari kampus dan belajar mengenai ekonomi langsung dari masyarakat desa. Ia merasa, teori-teori yang diajarkannya di kampus tidak menggambarkan kondisi riil yang ada. Karena menurutnya, “Teori-teori akademik ternyata ibarat menara gading, yang tak berdaya menjadi solusi bagi upaya memerangi kemiskinan”.
Dari sinilah, Muhammad Yunus mempelajari teori ekonomi baru dari orang-orang miskin. Ia berusaha untuk mulai memberikan kredit tanpa agunan kepada kaum-kaum miskin, terutama wanita melalui Grameen Bank atau Bank Pedesaan yang didirikannya. Selama lebih dari 24 tahun berdiri, Grameen Bank telah berhasil memberikan kredit kepada tujuh juta orang miskin di Bangladesh yang 58 persen peminjamnya berhasil diangkat dari kemiskinan.
Berkat kegigihan dan kepeduliannya yang tinggi inilah, Hugo Chaves, Presiden Venezuela menyebutnya sebagai “teladan perjuangan melawan kemiskinan” pada tahun 2006 lalu. Dari sosok Yunus kita bisa belajar bahwa keinginan kuat untuk maju dan impian satu orang saja bisa memengaruhi banyak orang, bahkan bisa memengaruhi suatu Negara atau dengan kata lain changing the world. Ia mampu mengisi kemerdekaan bangsanya dengan membantu pemerintah dalam hal mengentaskan kemiskinan.
Dengan amanat tersebut, sejatinya bangsa mampu melindungi mereka yang berbuat kebenaran dan kejujuran. Sang whistle blower seharusnya mampu dilindungi secara benar dan sungguh-sungguh. Mengenai hal ini, kita bisa belajar dari negeri Paman Sam, Amerika Serikat. Di sana, sang peniup peluit telah diakui dan dilindungi secara hukum sejak 1912 yang tertuang dalam Lloyd-La Follete Act. Suatu undang-undang yang menjamin hak para pegawai pemerintah pusat mengungkapkan informasi tentang perbuatan menyimpang (wrong doing) kepada Kongres Amerika Serikat. Kemudian diterbitkan The Whistleblower Protection Act of 1989 (Januari Sitohang, LPSK, Susno, dan “Whistle Blower”, Lampung Post, 09-06-2010)
Dengan amanat presiden tersebut, jika kita seorang pelajar atau mahasiswa, maka belajar secara maksimal agar meraih hasil terbaik, itulah bukti bahwa kita sudah mengisi kemerdekaan. Dan jika suatu saat kita gagal berprestasi dalam belajar, maka kita tidak boleh berputus asa, tidak lembek serta cengeng, akan tetapi harus terus berjuang. Dengan gagalnya berprestasi dalam belajar, seharusnya memacu kita untuk terus meningkatkan prestasi diri kita.
Dengan amanat presiden tersebut, jika kita sudah dewasa, bekerja keras tanpa kenal menyerah, itu bukti bahwa kita sudah mengisi kemerdekaan. Apapun pekerjaan kita, mulai presiden, direktur hingga tukang cukur, asal itu dikerjakan dengan serius dan sungguh-sungguh, berarti kita sudah mengisi kemerdekaan. Apapun yang kita kerjakan, asal bermanfaat bagi diri dan keluarga kita, bermanfaat bagi warga di sekitar kita, dan bermanfaat bagi perkembangan bangsa, berarti kita sudah turut andil mengisi kemerdekaan. Sebab sabda nabi, ”Sebaik-baik manusia adalah mereka yang paling bermanfaat bagi manusia yang lainnya”
Mari kita isi kemerdekaan ini dengan kerja keras dan pantang menyerah. Sebagaimana pahlawan kita di masa lalu, saat memperjuangkan kemerdekaan Republik Indonesia. Para pahlawan kerja keras tanpa mengenal lelah, bersatu padu dalam meraih kemerdekaan, sehingga akhirnya tercapailah kemerdekaan yang dicita-citakan bangsa.
Semangat pantang menyerah para pahlawan inilah, yang perlu kita transfer ke jati diri kita segenap bangsa Indonesia. “Merdeka berarti mengisi hari-hari kita dengan kerja keras dan pantang menyerah demi mencapai kesuksesan”.  Semoga, amanat Bapak Bangsa ini akan selalu terpatri dalam sanubari seluruh elemen bangsa. Dirgahayu Bangsaku, Dirgahayu Republik Indonesia. Merdeka !!!

00.26 | Posted in | Read More »

BANK SYARIAH: INDAH DAN MENENTRAMKAN


Oleh: Abdul Qodir Zaelani, MA 
(Pernah di muat majalah bulanan "Media Pembinaan" bulan Juli 2010 Kementerian Agama Kanwil Jawa Barat)
Ketika mendengar kata Syariah, terasa hati ini sejuk, damai dan menentramkan. Sebab, ketika kita melaksanakan segala kegiatan apapun, dan berdasarkan kepada ajaran Islam terasa sekali kehadiran nilai ruhiyah ada dalam jiwa kita. Sama halnya ketika kita mendengar Bank Syariah, yang ada dalam benak kita, bahwa Bank seperti ini adalah Bank Islam atau Bank Tanpa Bunga (Interest-Free Bank), Bank Tanpa Riba (Lariba Bank), dan Bank Syari’ah (Shari’a Bank) yang secara lengkap disebut “Bank Berdasarkan Prinsip Syariah”.
Sebelum kita membahas kepada isi dari Bank Syariah itu sendiri, lebih dahulu kita bertanya mengenai kilasan sejarah perbankan syariah, sehingga kita tahu bagaimana perkembangan bank syariah di dunia hingga sampai ke Negara kita, Indonesia.
Sebenarnya pembentukan perbankan tanpa bunga telah dipraktikkan pada kisaran tahun 1940-an di Malaysia. Namun usaha tersebut gagal dan terpuruk. Eksperimen pendirian bank syariah yang paling inovatif di masa modern dilakukan di Mesir pada 1963, dengan berdirinya Mit Ghamr Local Saving Bank. Berdirinya Bank ini tidak lepas dari bantuan permodalan Raja Faisal Arab Saudi dan merupakan binaan dari Prof. Dr. Abdul Aziz Ahmad El- Nagar.
Myt Ghamr Local Saving Bank dianggap berhasil memadukan manajemen perbankan Jerman dengan prinsip muamalah Islam dengan menerjemahkannya dalam produk-produk bank yang sesuai untuk daerah pedesaan yang sebagian besar orientasinya adalah industri pertanian. Namun karena persoalan politik, pada tahun 1967 Bank Islam Myt Ghamr Local Saving Bank ditutup. Kemudian pada tahun 1971 di Mesir berhasil didirikan kembali Bank Islam dengan nama Nasser Social Bank, hanya tujuannya lebih bersifat sosial dari pada komersil.
Pada perkembangan selanjutnya, maka berdiri pula Islamic Development Bank (IDB, atau Bank Pembangunan Islam) pada tahun 1975, yang berpusat di Jeddah yang merupakan salah satu tonggak perkembangan perbankan Islam. Bank pembangunan yang menyerupai Bank Dunia (World Bank) dan Bank Pembangunan Asia (Asia Development Bank, ADB) ini dibentuk oleh Organisasi Konferensi Islam (OKI) yang anggota-anggotanya adalah negara-negara Islam, termasuk Indonesia. Sejak saat itu, pada dekade 80-an bermunculanlah perbankan berbasis syariah, yang dapat dikategorikan menjadi dua yakni sebagai Bank Islam Komersial (Islamic Commercial Bank) seperti Dubai Islamic Bank, Bahrain Islamic Bank dan Lembaga Investasi dengan bentuk International Holding Companies, seperti Daar Al-Maal Al-Islami (Geneva), Islamic Investment Company of the Gulf, Islamic Investment Company (Bahama). (Lihat Peri Umar Farouk, Sejarah Hukum Perbankan Syariah di Indonesia, Magister Hukum UGM)
Seiring bergulirnya waktu, Indonesia pun tidak ketinggalan untuk mengikuti perkembangan perbankan syariah. Di Indonesia, bank syariah pertama baru lahir tahun 1991 dan beroperasi secara resmi tahun 1992. Beroperasinya bank ini setelah adanya payung hukum berupa Undang-undang Perbankan Indonesia, yakni Undang-undang No. 7 Tahun 1992 tentang Perbankan sebagaimana telah diubah dengan Undang-undang No. 10 Tahun 1998. Padahal, menurut Dawam Raharjo, pemikiran mengenai hal ini sudah terjadi sejak dasawarsa 1970-an, saat memberikan Kata Pengantar buku yang berjudul “Bank Islam Analisa Fiqih dan Keuangan”, penghalangnya adalah faktor politik, yaitu bahwa pendirian bank Islam dianggap sebagai bagian dari cita-cita mendirikan Negara Islam (Adiwarman Karim-IIIT Indonesia, 2003).
Bank Muamalat Indonesia adalah pelopor perbankan syariah di Indonesia yang berdiri pada tahun 1991. Bank ini pada awal berdirinya diprakarsai oleh Majelis Ulama Indonesia (MUI) dan pemerintah serta mendapat dukungan dari Ikatan Cendekiawan Muslim Indonesia (ICMI) dan beberapa pengusaha muslim. Pada saat krisis moneter yang terjadi pada akhir tahun 1990, bank ini mengalami kesulitan sehingga ekuitasnya hanya tersisa sepertiga dari modal awal. IDB kemudian memberikan suntikan dana kepada bank ini dan pada periode 1999-2002 dapat bangkit dan menghasilkan laba. Hingga kini, sudah banyak bank syariah bermunculan di Indonesia.
Indah dan menentramkannya ber-Bank Syariah
Mengapa berbankan syariah bisa mentramkan hati kita dan begitu indah?. Kalau dilihat sepintas, memang seakan-akan antara bank konvensional dan bank Syariah tidak ada perbedaan dalam hal prosedural perbankan. Namun ada banyak sisi lain yang membedakannya. Dalam bank konvensional, bank bertindak sebagai debitur dan penabung sebagai kreditur. Bank membayar bunga kepada penabung dengan bunga yang telah ditentukan, tanpa peduli berapa keuntungan ataupun kerugian yang dialami pihak Bank.
Sementara dalam Perbankan syariah, penabung merupakan mitra bank sekaligus investor/penyandang dana (baca: shahib al-maal) dengan pengelola dana (mudharib). Sebagai investor mereka berhak menerima hasil investasi bank itu. Hasil yang diperoleh penabung naik turun secara proporsional mengikuti perolehan bank. Karenanya tingkat laba Bank Syariah bukan saja berpengaruh terhadap tingkat bagi hasil untuk para pemegang saham, tetapi juga berpengaruh terhadap bagi-hasil yang dapat diberikan kepada nasabah menyimpan dana.
Dengan demikian, kemampuan manajemen untuk melaksanakan fungsinya sebagai penyimpan harta, pengusaha dan pengelola investasi yang baik (professional investment manager) akan sangat menentukan kualitas usahanya sebagai lembaga intermediary dan kemampuannya menghasilkan laba. Hal ini menerapkan konsep muamalah yang menawarkan konsep kebersamaan dalam profit dan risk secara adil dan transparan.
Sebab, dalam pandangan syariah uang bukanlah merupakan suatu komoditi melainkan hanya sebagai alat untuk mencapai pertambahan nilai ekonomis (economic added value). Hal ini bertentangan dengan perbankan berbasis bunga dimana “uang mengembang-biakkan uang”, tidak peduli apakah uang itu dipakai dalam kegiatan produktif atau tidak.
Dalam hal lain, yang membedakannya adalah sebagaimana disebutkan dalam butir 13 Pasal 1 UUPI (Undang-undang Perbankan Indonesia) antara lain; pembiayaan berdasarkan prinsip bagi hasil (mudharabah), pembiayaan berdasarkan prinsip penyertaan modal (musharakah), prinsip jual beli barang dengan memperoleh keuntungan (murabahah), atau pembiayaan barang modal berdasarkan prinsip sewa murni tanpa pilihan (ijarah), atau dengan adanya pilihan pemindahan kepemilikan atas barang yang disewa dari pihak Bank oleh pihak lain (ijarah wa iqtina).
Berdasarkan prinsip tersebut, Bank Syariah juga dapat menarik dana pihak ketiga atau masyarakat dalam bentuk; Titipan (wadiah) simpanan yang dijamin keamanan dan pengembaliannya (guaranteed deposit) tetapi tanpa memperoleh imbalan atau keuntungan, Partisipsi modal berbagi hasil dan berbagi resiko (non guaranteed account) untuk investasi umum (general investment account/mudharabah mutlaqah) dimana bank akan membayar bagian keuntungan secara proporsional dengan portfolio yang didanai dengan modal tersebut, Investasi khusus (special investment account/mudharabah muqayyadah) di mana bank bertindak sebagai manajer investasi untuk memperoleh fee. Jadi bank tidak ikut berinvestasi sedangkan investor sepenuhnya mengambil resiko atas investasi itu.
Dari aspek legalitas akad atau perjanjian transaksi Syariah memiliki ketentuan yang tidak lepas dari ketentuan hukum Islam. Adapun rukunnya adalah ada penjual (pemilik), pembeli (nasabah), harga dan ijab qabul transaksi dan Syarat-syaratnya adalah barang dan jasa harus halal, barang dan jasa harus jelas.
Dalam hal penyeleksian proyek yang hendak didanai, bukan hanya memperhatikan aspek kelayakan usaha (fisibility study) yang akan didanai, tapi memperhatikan juga akan halal dan haramnya usaha tersebut. Semuanya itu dilakukan agar nasabah terhindar dari praktek sistem riba.
Selain itu, perbedaan yang mendasar adalah bahwa bank Syariah mempunyai dewan pengawas yang berkompeten dalam bidang syariah. Hal ini berdasarkan ketentuan yang ada dalam PP No. 72 Tahun 1992 yang berisi tentang Kewajiban memiliki Dewan Pengawas Syariah yang bertugas melakukan pengawasan atas produk perbankan baik dana maupun pembiayaan agar berjalan sesuai dengan prinsip Syari’at, dimana pembentukannya dilakukan oleh bank berdasarkan hasil konsultasi dengan Majelis Ulama Indonesia (MUI).
Proses pengawasan dalam bank syariah meliputi kegiatan-kegiatan seperti menentukan standar sebagai ukuran pengawasan, pengukuran dan pengamatan terhadap jalannya operasi berdasarkan rencana yang telah ditetapkan, penafsiran dan perbandingan hasil yang dicapai dengan standar yang diminta, melakukan tindakan koreksi terhadap penyimpangan, perbandingan hasil akhir (output) dengan masukan (input) yang digunakan. Dengan demikian, kita sebagai umat Islam sangat merasa nyaman dan tentram, karena ada unsur organisasi yang mewakili umat Islam dalam hal pengawasan pelaksanaannya.
Demikianlah beberapa prinsip bank syariah. Dengan prinsip tersebut kita akan merasa aman, nyaman, indah dan menentramkan. Tidak ada keraguan lagi bagi kita, sebab didalamnya terdapat dewan yang mengawasi jalannya perbankan syariah. Kita berharap semoga bank syariah akan terus tumbuh dan berkembang sehingga bukan saja umat Islam yang dapat menikmatinya tapi juga semua orang, siapa saja. Saya jadi ingat, ketika seorang keturunan Tionghoa berkata pada saya ketika saya masih bekerja di sebuah Bank, “Dengan memakai bank syariah, membuat saya nyenyak tidur dan enak makan karena tidak ada unsur bunga -baik flat maupun affective- didalamnya”. Wallahu a’lam bishowab. (Dari berbagai sumber)

00.08 | Posted in | Read More »

DIMANAKAH SEMANGAT PANCASILA?


Oleh: Abdul Qodir Zaelani, MA
(Pernah di muat di majalah bulanan "Media Pembinaan" edisi bulan Mei 2010, Kemenag Kanwil Jawa Barat)

Reformasi telah berjalan belasan tahun. Bergulirnya reformasi tentunya untuk mengusung perubahan ke arah lebih baik, namun hasilnya kini masih jauh api dari panggang. Sejak reformasi didegungkan, lahirlah proses liberalisasi politik yang mendorong demokratisasi secara luas, liberalisasi bidang perekonomian yang membuat bangsa menguras energi, sumberdana, sumberdaya, mobilisasi massa tidak produktif, memperluas sikap pragmatisme dan praktik korupsi yang keseluruhannya terlihat jauh dari nilai kebajikan. Yang kesemuanya itu seakan menjadi budaya yang sistemik.
Selain itu, bangsa Indonesia juga mempraktikkan demokrasi liberal yang menjurus anarkistis, ekonomi ke arah neo-liberlisme yang berpihak pada kaum bermodal besar (capital), sehingga tidak menunjukkan akan tercapainya keadilan dan kemakmuran. Kesenjangan perekonomian terjadi dimana-mana, supermarket-supermarket mengepung hingga ke pelosok desa, maka pedagang tradisional terkena imbasnya yang cukup signifikan.
Berbagai kasus skandal yang bergulir seperti Bank Century dan Pajak mengesankan buruknya kinerja birokrasi pemerintah, sehingga hal itu tak ubahnya "gunung es" yang mencerminkan keburukan itu telah meluas dan menggurita di semua lini dan tingkatan, yang berimbas menciptakan mahalnya pelayanan umum seperti mahalnya biaya pendidikan, kesehatan dan sektor-sektor publik lainnya.
Belum lagi kemiskinan, ketidakberdayaan rakyat, dan ketidakadilan sosial adalah potret nyata bangsa kita dewasa ini. Rakyat sangat sulit mencari lapangan pekerjaan, mencari sesuap nasi saja harus rela mengorbankan jiwa dan raga.
 Apa sebenarnya penyebab kita memiliki potret yang buruk ini. Tentunya potret ini tidak diharapkan oleh pendiri bangsa dan .pahlawan kemerdekaan. Jawabannya cukup sederhana, satu saja yaitu negara tidak mampu mentransformasikan Dasar Negara Pancasila dan Undang Undang Dasar 45 dalam tataran teknis pelaksanaan pembangunan. Dasar negara dan konstitusi jelas mengamanatkan welfare state, negara kesejahteraan.
Kembalikan Semangat Pancasila
Bung Karno dalam pidatonya pada tanggal 1 Juni 1945 mengusulkan suatu pandangan hidup atau weltanschauung, dan philosophische grondslaag yaitu yang merupakan pedoman, filsafat, jiwa, serta hasrat yang sedalam-dalamnya jika kita hendak mendirikan sebuah Negara yang merdeka. Pandangan hidup bangsa tersebut dituangkan dalam Pancasila.
Formulasi Pancasila yang diusung oleh founding father secara cerdas, arif dan visioner merupakan buah perkawinan antara "lokalitas dan universalitas" yang sangat tepat dan relevan karena benar-benar berakar dan bersumber pada ranah Keindonesiaan yang ideal sekaligus realistis.
Lahirnya formula Pancasila ketika itu, secara global telah berkembang paham individualisme-liberalisme serta kolektivisme sebagai acuan negara-negara baru dalam merumuskan platform kenegaraannya. Namun para bapak bangsa tidak mengadopsi kedua paham besar tersebut. Sistem liberal yang merupakan anak kandung individualisme justru ditentangnya karena dianggap menurunkan kapitalisme serta kolonialisme/imperialisme. Mereka juga menafikan kolektivisme ala Marxis-Leninis yang menurunkan diktatorisme/otoritarianisme. Founding fathers lebih memilih sistem "negara kekeluargaan" yang digali dari akar budaya bangsa sendiri. Maka Pancasila amat membumi sehingga apabila dikembangkan dan diimplementasikan akan menjadi "jatidiri bangsa" serta perekat yang ampuh, bagi kelanjutan eksistensi bangsa kita, Indonesia.
Kiki Syakhnakri dalam artikelnya “Ada Apa Dengan Pancasila” menyatakan bahwa ada sejumlah pertimbangan mengapa founding fathers memilih Pancasila sebagai pandangan hidup bangsa, yaitu: Pertama, secara demografis bangsa kita memiliki pluriformitas yang sangat lebar dari berbagai aspek (multidimensi). Dengan jumlah penduduk yang sangat besar (keempat terbesar di dunia), terdapat kesenjangan multi aspek misalnya aspek pendidikan, ekonomi, sosial dan kultural.
Kedua, secara kultural, dalam masyarakat Indonesia di seluruh Nusantara mendarah-daging nilai-nilai luhur seperti kekeluargaan, gotong-royong, toleransi, keramah-tamahan, budi pekerti dan sebagainya, meski menurut antropolog budaya terkemuka mendiang Prof. Dr. Koentjaraningrat, juga mengidap simptom penyakit sosial yang negatif, seperti berwatak "feodalistis", "munafik", "suka mencari kambing hitam" dan "malas" (pasif, rendah dalam inisiatif, kreasi dan inovasi).
Untuk mempertahankan dan mengembangkan nilai-nilai luhur bangsa serta mengatasi penyakit budaya tersebut, satu-satunya jalan terapi adalah pendidikan yang berkualitas, berorientasi pada pembangunan jatidiri bangsa Indonesia (nation and character building). Persoalannya, sistem pendidikan nasional saat ini justru bermasalah, karena lebih menekankan aspek transfer of knowledge daripada transfer of values.
Ketiga, secara geografis, negara kita merupakan negara kepulauan (archipelagic country) dengan garis pantai yang amat panjang (nomor dua terpanjang di dunia), terletak pada posisi silang yang amat strategis serta amat kaya dengan Sumber Daya Alam. Kondisi ini melahirkan banyak keuntungan namun juga berpotensi kerawanan, termasuk masuknya kepentingan-kepentingan asing (regional dan global) dan sulitnya pengawasan wilayah. Jika hal ini terus berlanjut dengan skala massif, bukan mustahil Indonesia akan menjadi "negara gagal", sehingga diperlukan langkah-langkah terobosan untuk menyelamatkan, antara lain dengan mengobarkan jiwa kebangsaan.
Begitulah dasar lahirnya semangat pancasila sebagai pandangan hidup bangsa. Karenanya, bangsa Indonesia sudah seharusnya mengembangkan dan mengamalkan nilai-nilai tersebut sebagai dasar kehidupan berbangsa dan bernegara untuk mewujudkan cita-cita bangsa. Namun sayangnya dalam sejarah perjalanan bangsa, sejak kemerdekaan hingga kini, pelaksanaan Pancasila selalu mengalami berbagai macam hambatan, khususnya karena adanya proses dan dinamika politik yang memanipulasi Pancasila demi kekuasaan dengan mengingkari nilai-nilai Pancasila itu sendiri.
Di tengah goncangan pengaruh kekuatan global, kita seharusnya menguatkan dan memperlengkapi diri agar tidak terjerembab dalam dinamika dan problematika zaman ini. Salah satunya adalah dengan menggali kembali nilai-nilai dan semangat yang terkandung dalam Pancasila itu sendiri. Nilai-nilai dan semangat itulah yang kemudian kita maknai sebagai energi untuk membangun kembali jati diri bangsa ini. Bangsa ini bisa berdiri tegak, hanya jika mau kembali menghidupkan dan sekaligus mengimplementasikan nilai-nilai Pancasila itu sendiri
Bangsa Indonesia harus mampu memperkuat ideologi kebangsaan Pancasila, kestabilan politik, kepastian hukum, profesionalisme birokrasi dan konsentrasi penuh untuk mewujudkan keadilan dan kemakmuran, sesuai dengan amanat Pembukaan UUD 1945.
Ideologi kebangsan Pancasilan yang kuat akan dapat mengembalikan arah yang benar tentang tujuan dan cita-cita Proklamsi Kemerdekaan RI, 17 Agustus 1945 yaitu mewujudkan masyarakat adil dan makmur. Maraknya nilai-nilai kebangsaan yang sakral seperti yang terkandung dalam Pancasila sebagai ideologi bangsa dan Pembukaan UUD 1945, akan mencegah orang berbuat jahat terhadap Negara, seperti Korupsi, Kolusi dan Nepotisme.  
Mengamalkan sila pertama Pancasila, "Negara ber-Ketuhanan YME” telah mematrikan jiwa religious dalam penyelenggaraan Negara sehingga menjadikan olah kenegaraan berada di wilayah yang sakral dan membawahkan semua yang profan di bawahnya. Inilah penyucian Negara dengan ideologi kebangsaan Pancasila, sehingga orang takut untuk berbuat jahat karena Tuhan selalu mengawasinya dan kelak segala amal perbuatannnya akan dipertanggungjawabkan.
Mari semangat Pancasila itu kita bangkitkan kembali. Semangat yang mengusung jiwa patriotisme bangsa. Sebab semangat Pancasila mampu membawa bangsa ini menjadi Bangsa yang bermartabat dan berwibawa di mata dunia.
Dengan semangat pancasila seharusnya kita menghormati keyakinan orang lain. Dengan semangat pancasila seharusnya kita menjadi manusia yangg beradab, berbudaya sebagaimana budaya kita yang punya citra yang tinggi; tidak bersikap culas, iri, dan selalu berlaku adil pada sesama kita. Dengan semangat pancasila seharusnya kita menghargai orang lain sama seperti kita menghargai diri kita; bersatu kita teguh bercerai kita runtuh. Dengan semangat pancasila seharusnya kita selalu menjunjung tinggi sikap saling bantu membantu, gotong-royong; berat sama dipikul ringan sama dijinjing. Dengan semangat Pancasila, keadilan dan kemakmuran bangsa seharusnya akan terwujud. Dengan semangat Pancasila, seharusnya bangsa mampu keluar dari gurita korupsi yang telah mengakar dan akut. Dengan semangat Pancasila, tentunya akan melahirkan budaya malu untuk melakukan tindakan amoral dan anarkis. Dengan semangat pancasila tentunya akan melahirkan Negara beradab, visioner dan berkarkter. Pudarnya semangat pancasila, maka semakin rusaklah citra Indonesia di mata dunia. Kembalilah Indonesiaku dan kembalilah menjadi bangsa yang besar.

23.50 | Posted in | Read More »

URGENSITAS SOFT SKILL DALAM MENCETAK GENERASI BERMARTABAT


Oleh: Abdul Qodir Zaelani, MA
Manta Kepala Sekolah SDIT Salsabila Jetis Bantul Yogyakarta.

                    Saat ini masyarakat kita dihebohkan oleh berita korupsi senilai 20 Milyar, yang diduga melibatkan pejabat teras atas yang notabene adalah penegak hukum. Sebelumnya juga, kita dikejutkan dengan kasus Bank Century, yang hingga kini belum ada keputusan finalnya. Fenomena korupsi yang dilakukan para pejabat bangsa acapkali diberitakan di media, yang terkadang membuat kita mengelus dada.
Semua kejadian di atas adalah fenomena anomaly, yang berarti kejadian yang ganjil dari yang seharusnya terjadi. Pejabat Negara yang sejatinya melayani rakyat, justeru terkadang memeras keringat rakyat untuk kepentingan pribadi dan golongan. Sehingga pemimpin negeri kita, bisa dikatakan belum sepenuhnya berhasil memimpin bangsa ini menuju masyarakat sejahtera.
Prof. Dr. Elfindri, SE, MA (dkk.) dalam buku Soft Skill Untuk Pendidik menyatakan bahwa pendidikan kita masih berorientasi kognitif, yakni seseorang dianggap berhasil bila nilai ujiannya tinggi. Padahal keberhasilan seseorang di masyarakat – terlebih sebagai seorang pemimpin - bukan semata-mata oleh peranan keilmuan dan keterampilannya. Akan tetapi, soft skill ternyata mempunyai peranan yang sangat penting. Berdasarkan hasil kajian mutakhir, menyibak peran soft skill terhadap kesuksesan seseorang mencapai 78-82%. Sesuatu yang mencengangkan. Dari 19 kecerdasan yang diuji, rangking 1-7 adalah soft skill, sementara ilmu dan keterampilan merupakan rangking ke 8 dan 9.
Keterampilan soft skill ini akan menghantarkan seseorang mempunyai keterampilan berkomunikasi, kejujuran, kerjakeras, etos kerja, kekerabatan, santun, berbudi dan sifat positif lainnya. Sehingga seseorang lahir dan dibesarkan secara sempurna, memiliki intrapersonal skill, interpersonal skill, global skill, dan trancendental skill. Sukses dunia, untuk menuju sorga-Nya.
Untuk mewujudkan soft skill dibutuhkan Gerakan Empat (4) O yaitu Olah otak, Olah hati, Olah raga dan Olah batin. Olah otak bertujuan untuk meningkatkan pemahaman individu terhadap bidang tertentu. Diharapkan pemahaman yang dia peroleh dari setiap jenjang ilmu yang diberikan akan meningkatkan pemahaman dan ilmunya. Tujuan dari olah otak ini adalah seseorang dengan pendidikan, muncul kemandiriannya. Dengan demikian, ketika menjadi seorang pemimpin, mampu mentransfer pengetahuan (transfer knowledge) dan nilai (value) kepada para jajarannya dengan baik dan terarah.
Olah hati bertujuan agar anak-anak memiliki kepekaan dan perasaan yang tinggi dan bermarabat. Olah hati akan melatih dan melahirkan hati nurani yang berbicara dan bertindak. Ia akan melahirkan kejujuran, kerja keras, dan mengikis hasud dan dengki. Orang yang memiliki hati yang halus memiliki kepekaan lingkungan dan perasaan. Ia akan mampu mengerti posisinya, dan mampu mendeteksi lawan bicaranya. Emosionalnya akan terbentuk sedemikian rupa sehingga mampu melahirkan kepercayaan diri, tumbuh dan berfungsi pada berbagai komunitas yang ada. Sehingga ketika menjadi pemimpin, mampu memainkan hati nuraninya dalam memberikan kebijakan, dan tidak mau menyakiti hati rakyatnya dengan perbuatan tercela.
Olah raga bertujuan untuk menjadikan organ tubuh semakin teratur sesuai dengan fungsinya masing-masing. Olah raga juga membuat individu semakin sportif, tidak mau menang sendiri, menerima segalanya baik kalah maupun menang dan tak kalah pentingnya melenturkan  otot yang kaku. Oleh karenanya institusi pendidikan mesti menjadikan olah raga salah satu ikon yang membuatnya dinamis. Sehingga ketika menjadi seorang pemimpin, mampu berkomunikasi kepada rakyatnya dengan stamina yang baik, selalu fres dalam setiap kesempatan, siap menang dalam pertandingan dan menerima dengan lapang dada (legowo) terhadap kekalahannya dalam pertandingan politik.
Olah batin bertujuan memberikan pemahaman kepada individu akan pentingnya makna dalam menjalani kehidupan. Individu tidak hanya menjalankan aturan yang ada, tapi apa yang melatarbelakangi adanya aturan sehingga ketika menjalankan aturan yang ada benar-benar dengan keikhlasan dan kesungguhan. Hal ini karena pemahaman dan rasa tanggung jawab individu terhadap apapun yang dilaksanakan  (hal 216-218).
Jika soft skill ini mampu diterapkan dalam kehidupan sehari-hari maka sudah barang tentu mampu mencetak pemimpin masa depan yang mempunyai wawasan yang luas, bertanggungjawab dan mempunyai hati nurani.
Karenanya bagi seorang guru semestinya mampu menyelami bagaimana perasaan anak didik, kemudian menggali potensi anak didik untuk dioptimalkan. Untuk membangun generasi mendatang yang berkarakter dan berkualitas, mesti juga membangun kualitas guru terlebih dahulu.
Sebab itulah, tidak berlebihan jika buku ini layak dimiliki bagi setiap pecinta pendidikan terlebih sebagai pendidik. Pasalnya, buku ini ditulis oleh beberapa professor yang memang sudah kenyang makan asam garamnya dalam mendidik generasi bangsa.  
Jika kiat di dalam buku ini dipraktekkan, suatu saat dengan izin-Nya, insya Allah kita akan sumringah dan tersenyum menyaksikan pemimpin kita yang penuh dengan cinta, tanggungjawab dan peduli terhadap negerinya.

Judul               : Soft Skill Untuk Pendidik
Penulis             : Prof. Dr. Elfindri, SE, MA (dkk.)
Penerbit           : Baduose Media
Tahun              : 1 Februari 2010
Tebal               : 267 halaman

23.21 | Posted in | Read More »

Blog Archive

Recently Commented

Recently Added