MOST RECENT

|

DIMANAKAH SEMANGAT PANCASILA?


Oleh: Abdul Qodir Zaelani, MA
(Pernah di muat di majalah bulanan "Media Pembinaan" edisi bulan Mei 2010, Kemenag Kanwil Jawa Barat)


Reformasi telah berjalan belasan tahun. Bergulirnya reformasi tentunya untuk mengusung perubahan ke arah lebih baik, namun hasilnya kini masih jauh api dari panggang. Sejak reformasi didegungkan, lahirlah proses liberalisasi politik yang mendorong demokratisasi secara luas, liberalisasi bidang perekonomian yang membuat bangsa menguras energi, sumberdana, sumberdaya, mobilisasi massa tidak produktif, memperluas sikap pragmatisme dan praktik korupsi yang keseluruhannya terlihat jauh dari nilai kebajikan. Yang kesemuanya itu seakan menjadi budaya yang sistemik.
Selain itu, bangsa Indonesia juga mempraktikkan demokrasi liberal yang menjurus anarkistis, ekonomi ke arah neo-liberlisme yang berpihak pada kaum bermodal besar (capital), sehingga tidak menunjukkan akan tercapainya keadilan dan kemakmuran. Kesenjangan perekonomian terjadi dimana-mana, supermarket-supermarket mengepung hingga ke pelosok desa, maka pedagang tradisional terkena imbasnya yang cukup signifikan.
Berbagai kasus skandal yang bergulir seperti Bank Century dan Pajak mengesankan buruknya kinerja birokrasi pemerintah, sehingga hal itu tak ubahnya "gunung es" yang mencerminkan keburukan itu telah meluas dan menggurita di semua lini dan tingkatan, yang berimbas menciptakan mahalnya pelayanan umum seperti mahalnya biaya pendidikan, kesehatan dan sektor-sektor publik lainnya.
Belum lagi kemiskinan, ketidakberdayaan rakyat, dan ketidakadilan sosial adalah potret nyata bangsa kita dewasa ini. Rakyat sangat sulit mencari lapangan pekerjaan, mencari sesuap nasi saja harus rela mengorbankan jiwa dan raga.
 Apa sebenarnya penyebab kita memiliki potret yang buruk ini. Tentunya potret ini tidak diharapkan oleh pendiri bangsa dan .pahlawan kemerdekaan. Jawabannya cukup sederhana, satu saja yaitu negara tidak mampu mentransformasikan Dasar Negara Pancasila dan Undang Undang Dasar 45 dalam tataran teknis pelaksanaan pembangunan. Dasar negara dan konstitusi jelas mengamanatkan welfare state, negara kesejahteraan.
Kembalikan Semangat Pancasila
Bung Karno dalam pidatonya pada tanggal 1 Juni 1945 mengusulkan suatu pandangan hidup atau weltanschauung, dan philosophische grondslaag yaitu yang merupakan pedoman, filsafat, jiwa, serta hasrat yang sedalam-dalamnya jika kita hendak mendirikan sebuah Negara yang merdeka. Pandangan hidup bangsa tersebut dituangkan dalam Pancasila.
Formulasi Pancasila yang diusung oleh founding father secara cerdas, arif dan visioner merupakan buah perkawinan antara "lokalitas dan universalitas" yang sangat tepat dan relevan karena benar-benar berakar dan bersumber pada ranah Keindonesiaan yang ideal sekaligus realistis.
Lahirnya formula Pancasila ketika itu, secara global telah berkembang paham individualisme-liberalisme serta kolektivisme sebagai acuan negara-negara baru dalam merumuskan platform kenegaraannya. Namun para bapak bangsa tidak mengadopsi kedua paham besar tersebut. Sistem liberal yang merupakan anak kandung individualisme justru ditentangnya karena dianggap menurunkan kapitalisme serta kolonialisme/imperialisme. Mereka juga menafikan kolektivisme ala Marxis-Leninis yang menurunkan diktatorisme/otoritarianisme. Founding fathers lebih memilih sistem "negara kekeluargaan" yang digali dari akar budaya bangsa sendiri. Maka Pancasila amat membumi sehingga apabila dikembangkan dan diimplementasikan akan menjadi "jatidiri bangsa" serta perekat yang ampuh, bagi kelanjutan eksistensi bangsa kita, Indonesia.
Kiki Syakhnakri dalam artikelnya “Ada Apa Dengan Pancasila” menyatakan bahwa ada sejumlah pertimbangan mengapa founding fathers memilih Pancasila sebagai pandangan hidup bangsa, yaitu: Pertama, secara demografis bangsa kita memiliki pluriformitas yang sangat lebar dari berbagai aspek (multidimensi). Dengan jumlah penduduk yang sangat besar (keempat terbesar di dunia), terdapat kesenjangan multi aspek misalnya aspek pendidikan, ekonomi, sosial dan kultural.
Kedua, secara kultural, dalam masyarakat Indonesia di seluruh Nusantara mendarah-daging nilai-nilai luhur seperti kekeluargaan, gotong-royong, toleransi, keramah-tamahan, budi pekerti dan sebagainya, meski menurut antropolog budaya terkemuka mendiang Prof. Dr. Koentjaraningrat, juga mengidap simptom penyakit sosial yang negatif, seperti berwatak "feodalistis", "munafik", "suka mencari kambing hitam" dan "malas" (pasif, rendah dalam inisiatif, kreasi dan inovasi).
Untuk mempertahankan dan mengembangkan nilai-nilai luhur bangsa serta mengatasi penyakit budaya tersebut, satu-satunya jalan terapi adalah pendidikan yang berkualitas, berorientasi pada pembangunan jatidiri bangsa Indonesia (nation and character building). Persoalannya, sistem pendidikan nasional saat ini justru bermasalah, karena lebih menekankan aspek transfer of knowledge daripada transfer of values.
Ketiga, secara geografis, negara kita merupakan negara kepulauan (archipelagic country) dengan garis pantai yang amat panjang (nomor dua terpanjang di dunia), terletak pada posisi silang yang amat strategis serta amat kaya dengan Sumber Daya Alam. Kondisi ini melahirkan banyak keuntungan namun juga berpotensi kerawanan, termasuk masuknya kepentingan-kepentingan asing (regional dan global) dan sulitnya pengawasan wilayah. Jika hal ini terus berlanjut dengan skala massif, bukan mustahil Indonesia akan menjadi "negara gagal", sehingga diperlukan langkah-langkah terobosan untuk menyelamatkan, antara lain dengan mengobarkan jiwa kebangsaan.
Begitulah dasar lahirnya semangat pancasila sebagai pandangan hidup bangsa. Karenanya, bangsa Indonesia sudah seharusnya mengembangkan dan mengamalkan nilai-nilai tersebut sebagai dasar kehidupan berbangsa dan bernegara untuk mewujudkan cita-cita bangsa. Namun sayangnya dalam sejarah perjalanan bangsa, sejak kemerdekaan hingga kini, pelaksanaan Pancasila selalu mengalami berbagai macam hambatan, khususnya karena adanya proses dan dinamika politik yang memanipulasi Pancasila demi kekuasaan dengan mengingkari nilai-nilai Pancasila itu sendiri.
Di tengah goncangan pengaruh kekuatan global, kita seharusnya menguatkan dan memperlengkapi diri agar tidak terjerembab dalam dinamika dan problematika zaman ini. Salah satunya adalah dengan menggali kembali nilai-nilai dan semangat yang terkandung dalam Pancasila itu sendiri. Nilai-nilai dan semangat itulah yang kemudian kita maknai sebagai energi untuk membangun kembali jati diri bangsa ini. Bangsa ini bisa berdiri tegak, hanya jika mau kembali menghidupkan dan sekaligus mengimplementasikan nilai-nilai Pancasila itu sendiri
Bangsa Indonesia harus mampu memperkuat ideologi kebangsaan Pancasila, kestabilan politik, kepastian hukum, profesionalisme birokrasi dan konsentrasi penuh untuk mewujudkan keadilan dan kemakmuran, sesuai dengan amanat Pembukaan UUD 1945.
Ideologi kebangsan Pancasilan yang kuat akan dapat mengembalikan arah yang benar tentang tujuan dan cita-cita Proklamsi Kemerdekaan RI, 17 Agustus 1945 yaitu mewujudkan masyarakat adil dan makmur. Maraknya nilai-nilai kebangsaan yang sakral seperti yang terkandung dalam Pancasila sebagai ideologi bangsa dan Pembukaan UUD 1945, akan mencegah orang berbuat jahat terhadap Negara, seperti Korupsi, Kolusi dan Nepotisme.  
Mengamalkan sila pertama Pancasila, "Negara ber-Ketuhanan YME” telah mematrikan jiwa religious dalam penyelenggaraan Negara sehingga menjadikan olah kenegaraan berada di wilayah yang sakral dan membawahkan semua yang profan di bawahnya. Inilah penyucian Negara dengan ideologi kebangsaan Pancasila, sehingga orang takut untuk berbuat jahat karena Tuhan selalu mengawasinya dan kelak segala amal perbuatannnya akan dipertanggungjawabkan.
Mari semangat Pancasila itu kita bangkitkan kembali. Semangat yang mengusung jiwa patriotisme bangsa. Sebab semangat Pancasila mampu membawa bangsa ini menjadi Bangsa yang bermartabat dan berwibawa di mata dunia.
Dengan semangat pancasila seharusnya kita menghormati keyakinan orang lain. Dengan semangat pancasila seharusnya kita menjadi manusia yangg beradab, berbudaya sebagaimana budaya kita yang punya citra yang tinggi; tidak bersikap culas, iri, dan selalu berlaku adil pada sesama kita. Dengan semangat pancasila seharusnya kita menghargai orang lain sama seperti kita menghargai diri kita; bersatu kita teguh bercerai kita runtuh. Dengan semangat pancasila seharusnya kita selalu menjunjung tinggi sikap saling bantu membantu, gotong-royong; berat sama dipikul ringan sama dijinjing. Dengan semangat Pancasila, keadilan dan kemakmuran bangsa seharusnya akan terwujud. Dengan semangat Pancasila, seharusnya bangsa mampu keluar dari gurita korupsi yang telah mengakar dan akut. Dengan semangat Pancasila, tentunya akan melahirkan budaya malu untuk melakukan tindakan amoral dan anarkis. Dengan semangat pancasila tentunya akan melahirkan Negara beradab, visioner dan berkarkter. Pudarnya semangat pancasila, maka semakin rusaklah citra Indonesia di mata dunia. Kembalilah Indonesiaku dan kembalilah menjadi bangsa yang besar.

Posted by azay on 23.50. Filed under . You can follow any responses to this entry through the RSS 2.0. Feel free to leave a response

0 komentar for "DIMANAKAH SEMANGAT PANCASILA?"

Leave a reply

Blog Archive

Recently Commented

Recently Added