MOST RECENT

|

BANK SYARIAH: INDAH DAN MENENTRAMKAN


Oleh: Abdul Qodir Zaelani, MA 
(Pernah di muat majalah bulanan "Media Pembinaan" bulan Juli 2010 Kementerian Agama Kanwil Jawa Barat)

Ketika mendengar kata Syariah, terasa hati ini sejuk, damai dan menentramkan. Sebab, ketika kita melaksanakan segala kegiatan apapun, dan berdasarkan kepada ajaran Islam terasa sekali kehadiran nilai ruhiyah ada dalam jiwa kita. Sama halnya ketika kita mendengar Bank Syariah, yang ada dalam benak kita, bahwa Bank seperti ini adalah Bank Islam atau Bank Tanpa Bunga (Interest-Free Bank), Bank Tanpa Riba (Lariba Bank), dan Bank Syari’ah (Shari’a Bank) yang secara lengkap disebut “Bank Berdasarkan Prinsip Syariah”.
Sebelum kita membahas kepada isi dari Bank Syariah itu sendiri, lebih dahulu kita bertanya mengenai kilasan sejarah perbankan syariah, sehingga kita tahu bagaimana perkembangan bank syariah di dunia hingga sampai ke Negara kita, Indonesia.
Sebenarnya pembentukan perbankan tanpa bunga telah dipraktikkan pada kisaran tahun 1940-an di Malaysia. Namun usaha tersebut gagal dan terpuruk. Eksperimen pendirian bank syariah yang paling inovatif di masa modern dilakukan di Mesir pada 1963, dengan berdirinya Mit Ghamr Local Saving Bank. Berdirinya Bank ini tidak lepas dari bantuan permodalan Raja Faisal Arab Saudi dan merupakan binaan dari Prof. Dr. Abdul Aziz Ahmad El- Nagar.
Myt Ghamr Local Saving Bank dianggap berhasil memadukan manajemen perbankan Jerman dengan prinsip muamalah Islam dengan menerjemahkannya dalam produk-produk bank yang sesuai untuk daerah pedesaan yang sebagian besar orientasinya adalah industri pertanian. Namun karena persoalan politik, pada tahun 1967 Bank Islam Myt Ghamr Local Saving Bank ditutup. Kemudian pada tahun 1971 di Mesir berhasil didirikan kembali Bank Islam dengan nama Nasser Social Bank, hanya tujuannya lebih bersifat sosial dari pada komersil.
Pada perkembangan selanjutnya, maka berdiri pula Islamic Development Bank (IDB, atau Bank Pembangunan Islam) pada tahun 1975, yang berpusat di Jeddah yang merupakan salah satu tonggak perkembangan perbankan Islam. Bank pembangunan yang menyerupai Bank Dunia (World Bank) dan Bank Pembangunan Asia (Asia Development Bank, ADB) ini dibentuk oleh Organisasi Konferensi Islam (OKI) yang anggota-anggotanya adalah negara-negara Islam, termasuk Indonesia. Sejak saat itu, pada dekade 80-an bermunculanlah perbankan berbasis syariah, yang dapat dikategorikan menjadi dua yakni sebagai Bank Islam Komersial (Islamic Commercial Bank) seperti Dubai Islamic Bank, Bahrain Islamic Bank dan Lembaga Investasi dengan bentuk International Holding Companies, seperti Daar Al-Maal Al-Islami (Geneva), Islamic Investment Company of the Gulf, Islamic Investment Company (Bahama). (Lihat Peri Umar Farouk, Sejarah Hukum Perbankan Syariah di Indonesia, Magister Hukum UGM)
Seiring bergulirnya waktu, Indonesia pun tidak ketinggalan untuk mengikuti perkembangan perbankan syariah. Di Indonesia, bank syariah pertama baru lahir tahun 1991 dan beroperasi secara resmi tahun 1992. Beroperasinya bank ini setelah adanya payung hukum berupa Undang-undang Perbankan Indonesia, yakni Undang-undang No. 7 Tahun 1992 tentang Perbankan sebagaimana telah diubah dengan Undang-undang No. 10 Tahun 1998. Padahal, menurut Dawam Raharjo, pemikiran mengenai hal ini sudah terjadi sejak dasawarsa 1970-an, saat memberikan Kata Pengantar buku yang berjudul “Bank Islam Analisa Fiqih dan Keuangan”, penghalangnya adalah faktor politik, yaitu bahwa pendirian bank Islam dianggap sebagai bagian dari cita-cita mendirikan Negara Islam (Adiwarman Karim-IIIT Indonesia, 2003).
Bank Muamalat Indonesia adalah pelopor perbankan syariah di Indonesia yang berdiri pada tahun 1991. Bank ini pada awal berdirinya diprakarsai oleh Majelis Ulama Indonesia (MUI) dan pemerintah serta mendapat dukungan dari Ikatan Cendekiawan Muslim Indonesia (ICMI) dan beberapa pengusaha muslim. Pada saat krisis moneter yang terjadi pada akhir tahun 1990, bank ini mengalami kesulitan sehingga ekuitasnya hanya tersisa sepertiga dari modal awal. IDB kemudian memberikan suntikan dana kepada bank ini dan pada periode 1999-2002 dapat bangkit dan menghasilkan laba. Hingga kini, sudah banyak bank syariah bermunculan di Indonesia.
Indah dan menentramkannya ber-Bank Syariah
Mengapa berbankan syariah bisa mentramkan hati kita dan begitu indah?. Kalau dilihat sepintas, memang seakan-akan antara bank konvensional dan bank Syariah tidak ada perbedaan dalam hal prosedural perbankan. Namun ada banyak sisi lain yang membedakannya. Dalam bank konvensional, bank bertindak sebagai debitur dan penabung sebagai kreditur. Bank membayar bunga kepada penabung dengan bunga yang telah ditentukan, tanpa peduli berapa keuntungan ataupun kerugian yang dialami pihak Bank.
Sementara dalam Perbankan syariah, penabung merupakan mitra bank sekaligus investor/penyandang dana (baca: shahib al-maal) dengan pengelola dana (mudharib). Sebagai investor mereka berhak menerima hasil investasi bank itu. Hasil yang diperoleh penabung naik turun secara proporsional mengikuti perolehan bank. Karenanya tingkat laba Bank Syariah bukan saja berpengaruh terhadap tingkat bagi hasil untuk para pemegang saham, tetapi juga berpengaruh terhadap bagi-hasil yang dapat diberikan kepada nasabah menyimpan dana.
Dengan demikian, kemampuan manajemen untuk melaksanakan fungsinya sebagai penyimpan harta, pengusaha dan pengelola investasi yang baik (professional investment manager) akan sangat menentukan kualitas usahanya sebagai lembaga intermediary dan kemampuannya menghasilkan laba. Hal ini menerapkan konsep muamalah yang menawarkan konsep kebersamaan dalam profit dan risk secara adil dan transparan.
Sebab, dalam pandangan syariah uang bukanlah merupakan suatu komoditi melainkan hanya sebagai alat untuk mencapai pertambahan nilai ekonomis (economic added value). Hal ini bertentangan dengan perbankan berbasis bunga dimana “uang mengembang-biakkan uang”, tidak peduli apakah uang itu dipakai dalam kegiatan produktif atau tidak.
Dalam hal lain, yang membedakannya adalah sebagaimana disebutkan dalam butir 13 Pasal 1 UUPI (Undang-undang Perbankan Indonesia) antara lain; pembiayaan berdasarkan prinsip bagi hasil (mudharabah), pembiayaan berdasarkan prinsip penyertaan modal (musharakah), prinsip jual beli barang dengan memperoleh keuntungan (murabahah), atau pembiayaan barang modal berdasarkan prinsip sewa murni tanpa pilihan (ijarah), atau dengan adanya pilihan pemindahan kepemilikan atas barang yang disewa dari pihak Bank oleh pihak lain (ijarah wa iqtina).
Berdasarkan prinsip tersebut, Bank Syariah juga dapat menarik dana pihak ketiga atau masyarakat dalam bentuk; Titipan (wadiah) simpanan yang dijamin keamanan dan pengembaliannya (guaranteed deposit) tetapi tanpa memperoleh imbalan atau keuntungan, Partisipsi modal berbagi hasil dan berbagi resiko (non guaranteed account) untuk investasi umum (general investment account/mudharabah mutlaqah) dimana bank akan membayar bagian keuntungan secara proporsional dengan portfolio yang didanai dengan modal tersebut, Investasi khusus (special investment account/mudharabah muqayyadah) di mana bank bertindak sebagai manajer investasi untuk memperoleh fee. Jadi bank tidak ikut berinvestasi sedangkan investor sepenuhnya mengambil resiko atas investasi itu.
Dari aspek legalitas akad atau perjanjian transaksi Syariah memiliki ketentuan yang tidak lepas dari ketentuan hukum Islam. Adapun rukunnya adalah ada penjual (pemilik), pembeli (nasabah), harga dan ijab qabul transaksi dan Syarat-syaratnya adalah barang dan jasa harus halal, barang dan jasa harus jelas.
Dalam hal penyeleksian proyek yang hendak didanai, bukan hanya memperhatikan aspek kelayakan usaha (fisibility study) yang akan didanai, tapi memperhatikan juga akan halal dan haramnya usaha tersebut. Semuanya itu dilakukan agar nasabah terhindar dari praktek sistem riba.
Selain itu, perbedaan yang mendasar adalah bahwa bank Syariah mempunyai dewan pengawas yang berkompeten dalam bidang syariah. Hal ini berdasarkan ketentuan yang ada dalam PP No. 72 Tahun 1992 yang berisi tentang Kewajiban memiliki Dewan Pengawas Syariah yang bertugas melakukan pengawasan atas produk perbankan baik dana maupun pembiayaan agar berjalan sesuai dengan prinsip Syari’at, dimana pembentukannya dilakukan oleh bank berdasarkan hasil konsultasi dengan Majelis Ulama Indonesia (MUI).
Proses pengawasan dalam bank syariah meliputi kegiatan-kegiatan seperti menentukan standar sebagai ukuran pengawasan, pengukuran dan pengamatan terhadap jalannya operasi berdasarkan rencana yang telah ditetapkan, penafsiran dan perbandingan hasil yang dicapai dengan standar yang diminta, melakukan tindakan koreksi terhadap penyimpangan, perbandingan hasil akhir (output) dengan masukan (input) yang digunakan. Dengan demikian, kita sebagai umat Islam sangat merasa nyaman dan tentram, karena ada unsur organisasi yang mewakili umat Islam dalam hal pengawasan pelaksanaannya.
Demikianlah beberapa prinsip bank syariah. Dengan prinsip tersebut kita akan merasa aman, nyaman, indah dan menentramkan. Tidak ada keraguan lagi bagi kita, sebab didalamnya terdapat dewan yang mengawasi jalannya perbankan syariah. Kita berharap semoga bank syariah akan terus tumbuh dan berkembang sehingga bukan saja umat Islam yang dapat menikmatinya tapi juga semua orang, siapa saja. Saya jadi ingat, ketika seorang keturunan Tionghoa berkata pada saya ketika saya masih bekerja di sebuah Bank, “Dengan memakai bank syariah, membuat saya nyenyak tidur dan enak makan karena tidak ada unsur bunga -baik flat maupun affective- didalamnya”. Wallahu a’lam bishowab. (Dari berbagai sumber)

Posted by azay on 00.08. Filed under . You can follow any responses to this entry through the RSS 2.0. Feel free to leave a response

0 komentar for "BANK SYARIAH: INDAH DAN MENENTRAMKAN"

Leave a reply

Blog Archive

Recently Commented

Recently Added