MOST RECENT

|

Melacak Akar Berpikir Kaum Pluralis

Pluralisme agama dalam pengertian sederhananya adalah upaya menampik klaim kebenaran. Selanjutnya ide ini menjelma dalam wujud wacana kesatuan transendental agama-agama. Gagasan ini,kemudian mengkhayalkan adanya titik temu antar agama pada level esoteris. Pada awalnya gagasan ini diangkat dan di ‘turunkan ke bumi’ oleh Schuon kemudian disambut gegap gempita oleh para sarjana lintas agama dan akhirnya menjadi ‘wahyu’ yang mencerahkan dalam setiap kesempatan dialog lintas agama. Jika kita menggali lebih dalam paham pluralisme agama ini lahir dari doktrin pluralisme.Di Barat pluralisme memiliki akar yang dapat ditelusuri jauh ke belakang, ternyata yang paling endominasi adalah paham kenihilan (nihilisme) dan relativisme Barat post modern. Pluralisme mengandung dua makna, pertama, pengakuan terhadap kemajemukan, kedua, doktrin yang berisi pernyataan tidak ada jalan untuk menyatakan kebenaran tunggal, tidak ada pendapat yang mutlak benar bahkan semua pendapat sama benarnya.

Dalam ranah aplikasi, para propagandis pluralisme agama ini, berseru selantang-lantangnya agar tak satupun agama, keyakinan atau kepercayaan yang boleh mengklaim sebagai ‘pemilik tunggal’ kebenaran. ’Mereka mempertanyakan berbagai keyakinan mendasar yang sudah berurat dan berakar diyakini oleh umat.” Apa salahnya nikah beda agama, mengapa tidak boleh nikah mut’ah?”, “di mana letak kelirunya mengucapkan selamat hari raya bagi umat agama lain?” bukankah semua agama sama?, “Atas dasar apa Anda menyesatkan Ahmadiyah?”. Jadi tidak ada yang mutlak benar dan tidak ada yang mutlak salah, “semua relatif”! Lebih dari itu “Semua adalah relatif” kemudian menjadi sebuah kerangka berpikir. “Berpikirlah yang benar, tapi jangan merasa benar sendiri”, sebab kebenaran itu relatif. “Jangan terlalu lantang bicara kebenaran, dan jangan menegur yang ‘salah’, karena kebenaran itu relatif. “Benar menurut Anda belum tentu benar bagi kami”, semua adalah relatif. Kalau Anda mengimani sesuatu jangan terlalu yakin keimanan anda benar, iman orang lain mungkin juga benar. Intinya semua diarahkan agar tidak merasa pasti tentang kebenaran.

Abraham Lincoln punya kata bijak, “No one has the right to choose to do what is wrong”, tentu akan terpental jika dihadapkan dengan kerangka pikir ini. Hadis Nabi saw, manra’a ra’a minkum munkaranÖdst bukan hanya menyalahi kerangka pikir ini, tapi justru menambah’poin panjang’kriteria Islam sebagai agama jahat (evil religion) versi Charles Kimbal.

Akhirnya, pluralisme dalam makna puncaknya sudah tidak berpegang pada suatu dasar apapun. Masyarakat harus menerima kenyataan bahwa di sana tidak ada kebenaran tunggal. Artinya semua benar; atau masyarakat tidak boleh memiliki keyakinan bahwa agama dan kepercayaan mereka itu benar atau paling benar. Bahkan dalam satu pengertian pluralisme mengajarkan bahwa sebenarnya kebenaran itu tidak ada.

Pluralisme tidak bisa dilepas dari postmodern Barat sebab yang kedua ini sangat kental diwarnai oleh pluralisme. Itulah sebabnya postmodernisme senantiasa menyasar fundamentalisme sebagai musuh utamanya. Senjata ampuh dalam menghadang kebangkitan agama adalah ‘pedang pluralisme’ yang bermata ganda yaitu nihilisme dan relativisme. Dengan ini,tampak dengan kasat mata bahwa pluralisme menjadikan agama dan kepercayaan sebagai target utamanya. Ada pendapat yang sedikit ekstrim, yaitu sosiolog Amerika Peter Ludwig Berger dalam bukunya The Desecularization of the World, dengan gamblang ia menyatakan bahwa sekularisasi telah gagal, praktik keagamaan ternyata justru berkecambah subur dan desekularisasi malah dominan. Sebab itu, dalam bukunya yang lain, The Social Construction of Reality ia mengusulkan gantinya, yaitu penyebaran paham pluralisme. Tokoh lain yang tidak kalah gamblangnya mencanangkan Pluralisme bukan saja beraplikasi toleransi tanpa batas tapi ia diharap bisa berwujud “peleburan” agamaagama menjadi “agama baru” yang merupakan realitas kebenaran yang plural (Diana L.Eck,The Challenge of Pluralism)

Dalam perjalanannya, doktrin pluralisme agama ini pun kini disebar dalam berbagai wacana pemikiran Islam. Sayang, banyak cendekiawan yang keliru memahami dan memaknai Pluralisme Agama ini. Ada yang memahami doktrinnya dan mempunyai agenda tersendiri untuk menyebarkan paham ini. Ada pula yang kemudian mencari-cari pembenaran atas paham ini dengan menjungkirbalikkan makna dan kandungan ayat-ayat alquran dan hadits Nabi tertentu. Tapi, ini yang paling kasihan, ada juga yang tidak memahami doktrinnya,namun justru tergiring bahkan menjadi pengecer wacana yang malang melintang tanpa arah ini.

Islam sebenarnya mengakui perbedaan dan identitas agama masing-masing (lakum dinukum
waliyadin). Adapun paham pluralisme agama didedikasikan untuk menghilangkan konflik dan sekaligus mnghilangkan perbedaan dan identitas agama yang sudah ada

Dari Pluralisme ke Relativisme
Unsur utama pluralisme agama adalah relativisme, “semua adalah relatif”. Jargon “semua adalah relatif” seakan menjadi wahyu tanpa agama. Seperti undang-undang tanpa penguasa. Slogan ini menjadi penyejuk mata bagi pemuja syahwat. Baik buruk, salah benar, porno tidak porno, sopan kurang sopan,
bahkan dosa dan tidak dosa menjadi serba nisbi. Tergantung siapa yang menilai!

Slogan relativisme ini sebenarnya lahir dari rahim kebencian. Kebencian Pemikir Barat modern terhadap agama. Mereka Benci terhadap sesuatu yang mutlak dan mengikat. Generasi postmodernis pun mewarisi
kebencian ini. Tapi semua orang tahu, kebencian tidak pernah bisa menghasilkan kearifan dan kebenaran. Bukankah orang bijak mengatakan “Persahabatan dan persaudaraan tidak selamanyabisa kompromi dengan kebenaran. Saat Aristoteles diperhadapkan pada dua pilihan antara persahabatan dan kebenaran,
filsuf Yunani ini rela memilih kebenaran dari pada persahabatan.

Slogan “Semua adalah relatif” kemudian diarahkan menjadi kesimpulan “Di sana tidak
ada kebenaran mutlak” (There exists no Absolute Truth)”. Kebenaran, moralitas, nilai danlain-lain adalah relatif belaka. Tapi karena asalnya adalah kebencian maka ia menjadi tidak logis. Jika Anda berkata “Tidak ada kebenaran mutlak” maka kata-kata Anda itu sendiri sudah mutlak, padahal Anda bilang “semua relatif”. Kalau Anda mengatakan “semua relatif” atau “Semua kebenaran adalah relatif” maka dengan sendirinya pernyataan Anda itu juga relatif alias tidak absolut. Kalau “semua adalah relatif” maka yang mengatakan “di sana ada kebenaran mutlak” sama benarnya dengan yang menyatakan “di sana tidak ada kebenaran mutlak”. Tapi tampaknya ungkapan ini sangat absurd.

Para artis, terutama di negeri Muslim, ikut menikmati slogan ini. Dengan ekspresi penuh emosi dan marah ada yang berteriak “Semuanya benar dan harus dihormati”. Membuka aurat dan yang menutup sama baiknya.

Posted by azay on 07.34. Filed under . You can follow any responses to this entry through the RSS 2.0. Feel free to leave a response

0 komentar for "Melacak Akar Berpikir Kaum Pluralis"

Leave a reply

Blog Archive

Recently Commented

Recently Added