MOST RECENT

|

KAPITALISME-LIBERALISME DALAM PANDANGAN ISLAM

KAPITALISME-LIBERALISME DALAM PANDANGAN ISLAM


Perkembangan Kapitalisme-Liberalisme dari Era Klasik-Sekarang
a. 1 Kapitalisme klasik

Kapitalisme dalam sejarahnya adalah sebagai satu bagian dari gerakan individualisme rasionalis (akar dari liberalisme). Di ranah keagamaan gerakan ini telah melahirkan reformasi, salah satunya Reformasi Gereja oleh Marthin Luther pada tahun 1517 yang mempelopori terbentuknya gereja Protestan sebagai perlawanan atas dominasi Paus di Roma. Sedangkan di bidang pendidikan telah memicu timbulnya Renaissance, yang membawa Eropa ke abad pencerahan. Di bidang politik juga telah menampilkan ciri-ciri pemerintahan yang demokratis, dan terutama di bidang ekonomi telah memunculkan system ekonomi kapitalis. Karena itulah maka konsep peradaban kapitalis menjadi legal, sebab di dalam konsep kapitalisme tidak hanya terdapat system ekonomi saja melainkan juga suatu cara pandangan hidup. Dimana system ini mula-mula pertama kali berkembang subur di Inggris pada abad ke-18, lalu menyebar ke Eropa Barat dan Amerika Utara. Dalam system kapitalis hak-hak milik atas alat-alat produksi (tanah, pabrik, mesin dan sumber daya alam), ada di tangan orang perseorangan, bukan di tangan Negara. Tetapi untuk sektor-sektor lainnya tetap menjadi hak monopoli pemerintah.

Disini kapitalisme terdiri dari dua (2) tujuan pokok. Pertama, kepemilikan atas harta produktif berarti kekuasaan terhadap kehidupan orang lain. Dengan kata lain system ini lebih menyukai kekuasaan ekonomi yang di bagi-bagi atas beberapa pemilik harta atau lebih., sehingga bagi penganut ideology ini jika seluruh harta produktif menjadi milik Negara dan segala kekuasaan ekonomi bergabung dengan kekuasaan politik, maka harapan kemerdekaan ekonomi perseorangan akan kabur. Kedua, adanya pola pikir kapitalis yang menganggap bahwa kemajuan di bidang teknologi akan lebih mudah tercapai jika setiap orang mengurus sendiri urusannya dan memiliki dorongan pribadi untuk hal tersebut. Dalam perkembangannya cara berpikir ini menjadi prinsip kedua dalam sistem kapitalis yaitu, ekonomi pasar. Kebalikan dari ekonomi tradisional, dalam ekonomi pasar kapitalis lebih ditekankan kepada spesialisasi pekerjaan. Setiap orang hanya menghasilkan bagian terkecil dari segala keperluannya dengan ketrampilan yang dimilikinya. Dan segala produksi dan jasa itupun untuk kepentingan pasar, yang harganya ditentukan oleh keinginan penguasa politik. Salah satu faktor yang mempengaruhi hal itu adalah supply and demand (pasokan dan permintaan), apabila harga-harga naik pasar akan memberikan sinyal menguntungkan bagi produk-produk tertentu. Sebaliknya bila harga-harga menurun maka secara implisit pasar seakan memberikan sinyal agar setiap orang mencari peruntungan di tempat lain. Fleksibilitas pasar inilah yang tidak dapat dikendalikan oleh ekonomi totaliter (fasis/komunis), karena peran negara dalam perencanaan perekonomian terbentur oleh “luasnya pengawasan” yang dilakukannya. Karena tak seorangpun dapat menduga perkembangan yang terjadi dalam pasar yang begitu luas dimana setiap hari bermunculan puluhan juta keputusan ekonomi dan meliputi berjuta-juta orang. Oleh sebab itulah sistem ekonomi pasar kapitalis sangat memperhatikan keputusannya, bahkan terhadap daerah yang terpencil sekalipun. Sehingga luasnya jangkauan wilayah dan pengawasan bisa teratasi. Dan sebagai akibatnya ahli-ahli ekonomi sosialispun mengakui double impact dari ekonomi pasar. W. Arthur Lewis, ekonom Inggris (juga seorang sosialis) dalam tesisnya “The principles of economic planning ” (1949) mengungkapkan bahwa yang menjadi persoalannya bukanlah pada perencanan atau tiadanya perencanaan, tetapi diantara perencanaan dengan bimbingan (fasisme dan komunisme) dan perencanaan dengan anjuran (kapitalisme-liberalisme, dalam ekonomi pasar kapitalis). Hal yang pertama telah banyak dibuktikan dengan banyak kegagalan di Uni Sovyet dan China di tahun 50-an dan 60-an.

Meskipun demikian sistem ini juga memiliki cela, karena inti dari sistem ini adalah persaingan. Dalam persaingan ada dua pilihan, (a) monopoli perseorangan , atau (b) Negara yang serba kuasa. Dimana keduanya sama-sama beresiko karena membuat para pelaku ekonomi-pekerja, pengusaha dan penanam modal-harus lebih waspada karena sewaktu-waktu apapun bisa terjadi tanpa bisa di tebak, hanya bedanya antara monopoli oleh perseorangan atau perusahaan-perusahaan besar dengan monopoli oleh negara. Yang sering dilupakan dalam pengerukan keuntungan sebesar-besarnya dari sistem ekonomi pasar kapitalis adalah bahwa hal sebaliknya bisa saja terjadi. Semakin besar keuntungan yang di dapat secara otomatis membawa risiko yang tinggi, sebagai gambaran banyaknya perusahaan-perusahaan besar maupun perseorangan AS yang bangkrut dan gulung tikar akibat efek negatif dari sistem ekonomi kapitalis ini. Sebaliknya bagi mereka yang ingin “bermain aman” lebih memilih menanamkan modalnya pada obligasi-oblogasi dengan hasil yang terjamin dan lebih rendah tentunya.



a. 2 Kapitalisme Modern (Kapitalisme Demokrat)

Teori kapitalisme klasik paling mendekati kenyataan yang sesungguhnya sesuai dengan periodenya, adalah pada pertengahan abad ke-18 hingga kira-kira akhir abad ke-19. Dalam perkembangan selanjutnya di abad ke-20 banyak ketegangan yang dihadapi oleh kapitalisme, diantaranya perkembangan teknologi dalam industrinya sendiri dan di luar itu adalah banyaknya peperangan. Karena itu mau tidak mau sistem kapitalis harus melakukan perubahan yang signifikan. Pemisahan yang jelas antara hak milik, pimpinan dan pengawasan keuangan yang baru mungkin dilakukan setelah terbentuknya perusahaan sebagai badan hukum. Dalam sistem ekonomi kapitalis ini setiap pemegang saham memiliki hak meskipun hanya sebatas besaran saham yang dimilikinya. Yang mana hal ini belum terwujud atau bahkan tidak ada pada masa pra-kapitalis, ketika itu semua anggota secata pribadi memiliki hak secara penuh terhadap jalannya perusahaan. Tetapi di kemudian hari banyak yang mengkritik pengambilan keputusan berdasarkan kepemilikan saham ini, karena dalam sebuah badan hukum yang modern jarak begitu jauh antara badan hokum itu sendiri dengan para pemegang saham. Misalnya, dalam rapat awal tahunan saja para pemegang saham yang diikutkan rapat selalu kurang dari 1%nya. Karena biasanya saham mayoritas dikuasai oleh satu atau dua orang saja, sehingga “hitam-putihnya” perusahaan ada di tangan mereka.

Tetapi dalam perkembangannya muncullah asosiasi-asosiasi buruh / karyawan perusahaan yang dapat mempengaruhi keputusan yan dikeluarkan perusahaan. Bahkan di beberapa Negara seperti Ingggris kaum buruh berhasil membentuk parpol pada tahun 1900 dan secara bertahap berhasil mengambil alih posisi partai Liberal kemudianmenjadi salah satu dari dua partai besar di Inggris, dan dalam satu dasawarsa lebih (1996-sekarang) partai Buruhlah yang menguasai parlemen sehingga otomatis memegang kendali pemerintahan (dua PM terakhir; Tony Blair dan Gordon Brown berasal dari partai buruh). Sedangkan di AS sendiri perkembangan ekonominya mengalami perubahan signifikan pasca “resesi ekonomi” 1929, program New Deal dari presiden FD. Roosevelt telah memberikan udara segar bagi para buruh / karyawan perusahaan. Diantaranya adalah kebijakan menaikkan gaji dan tunjangan buruh selama masa krisis ekonomi untuk menyiasati naiknya harga-harga barang, yang nampaknya kebijakan ini juga ditiru Indonesia selama era presiden SBY.

Dan pada dasarnya di saat sekarang ini tidak ada yang dapat disebut sebagai kapitalis murni di antara negara-negara Barat, bahkan di kebanyakan negara-negara penganut sosialispun tidak ada yang secara murni menrapkan ideologinya. Contohnya saja kita lihat pada saat krisis ekonomi internasional beberapa waktu lalu Negara kapitalis seperti AS sampai-sampai melakukan Bail Out (campur tangan) terhadap perekonomian, yang dimonopoli swasta padahal tindakan seperti itu biasanya ebih sering dilakukan oleh negara-negara sosialis. Hal tersebut telah menunjukkan bahwa sistem dan ideologi kapitalisme telah bertransformasi sedemikian rupa demi mempertahankan eksistensinya.



Pandangan Islam Terhadap Liberalisme-Kapitalisme
b. 1 Struktur Pemerintahan dan Ekonomi

Pada dasarnya di dalam islam tidak ada suatu konsep yang baku tentang system yang mengatur kehidupan manusia, baik itu di sektor pemerintahan maupun ekonomi. Tetapi dalam perjalanan sejarahnya umat Islam dari masa periode Madinah, Khulafaurrasyidin hingga era tiga dinasti besar (Umayyah, Abbasiyah, dan Utsmaniyah) telah memberikan teladan yang baik bagaimana mengatur pemerintahan dan mengatur perekonomian. Malah pada masa Umar bin Khattab dalam rangka mempermudah administrasi pemerintahan wilayah ke-khalifahan dibagi menjadi delapan (8) provinsi, sedangkan untuk pengaturan ekonomi baik dari zakat, kharaj ataupun jizyah semuanya dikumpulkan ke Baitul Maal. Dan di tiap-tiap daerah setiap Gubernur diharuskan mengumpulkan kas daerah (baik dari zakat, kharaj, dan jizyah) dan menggunakannya untuk kepentingan derah masing-masing sesuai prioritas. Pernah dalam catatan sejarah suatu ketika ada salah seorang Gubernur Umar di Bushra (Syam) yang dua tahun lebih tidak mengirimkan setoran ke kas Negara, setelah dilakukan cross check (tabayun) ternyata si Gubernur tadi lama tidak menyetorkan penghasilan daerah ke kas Negara dikarenakan lebih mengutamakan perbaikan ekonomi masyarakat di wilayahnya. Dan contoh-contoh perilaku yang mulia dari para pejabat Negara sebenarnya banyak terjadi dalam era khulafaurrasyidin ini, tak terkecuali khulafaurrasyidin ke IV Ali bin Abi Thalib. Puncak kemakmuran ekonomi dalam era Islam klasik terjadi pada masa Khalifah ke-8 dinasti Umayyah, Umar bin Abdul Aziz (yang masih cicit Umar bin Khattab). Pada masa ini sang Khalifah berhasil melakukan pemerataan hasil perekonomian tentu saja diantaranya adalah pengelolaan zakat, kharaj dan jizyah yang efektif, bahkan saking makmurnya rakyat ketika itu sehingga petugas penyalur zakat dari kekhalifahan tidak menemukan seorangpun dhu’afa di seantero negeri.

Pada era selanjutnya ketika dinasti Abbasiyah berkuasa tepatnya saat Abu’l Ja’far al-Mansyur (755-775 M) duduk di kursi kehalifahan, salah seorang cendekiawan dan ulama muslim ketika itu Abu Yusuf mengarang sebuah kitab yang diberi judul al-Khara. Yang bila dikaji lebih jauh tidak hanya membahas soal kharaj (pajak tanah) saja tetapi juga memberikan saran-saran yang berkenaan dengan masalah perekonomian baik itu makro maupun mikro, dan ternyata dibelakang hari konsep dari buku al-Kharaj karya Abu Yusuf ini dijadikan acuan oleh Adam Smith dalam mengembangkan teori ekonominya, salah satu diantaranya adalah istilah “The Invisible Hands” nya yang selama ini kita pahami sebagai murni teori Adam Smith. Padahal konsep itu di ‘jiplak’ mentah-mentah dari kitab al-Kharaj karangan Abu Yusuf di Abad-8 M, cuma perbedaannya adalah yang dimaksud sebagai The Invisible Hands oleh Adam Smith lebih pada sifat pasar yang fleksibel, sedangkan istilah yang serupa dalam kitab al-Kharaj-nya Abu Yusuf dijelaskan sebagai ‘tangan-tangan Allah’. Fakta inipun baru saya ketahui setelah membaca buku mengenai ekonomi dan per-Bankan Syari’ah, yang seharusnya bisa menjadi solusi dalam pemecahan krisis ekonomi bagi umat Islam sedunia khususnya umat Islam di negeri ini.



2 Pandangan Para Ulama Kontemporer
Sebenarnya sampai kapanpun system dan ideologi Kapitalis-Liberalis seperti halnya ideologi Sosialis-Komunis tidak akan pernah cocok dengan kultur dan aqidah Islam yang Syumul (komprehensif). Beberapa ulama muslim di abad XX diantaranya Sayyid Qutb telah menyatakan pendapatnya “Saya heran dengan terhadap orang-orang yang kelewat semangat dalam ‘memuliakan’ al-Qur’an, orang-orang yang berusaha menambahkan kepadanya sesuatu yang bukan bagiannya, membebaninya dengan sesuatu yang tidak menjadi tujuannya, dan menyimpulkan darinya rincian-rincian ilmu kedokteran, kimia, astronomi, dan sebagainya…”, meskipun disini beliau tidak secara jelas menyebutnya tetapi bisa ditarik pengertian bahwa segala sesuatu yang bertentangan dengan hukum dasar Islam (al-Qur’an dan Hadits) maka untuk selamanya tidak bisa digunakan oleh umat Islam.

Meskipun demikian dalam realitas kehidupan berbangsa dan bernegara penolakan Islam terhadap ideology Liberalis-Kapitalis masih menjadi polemik, beberapa hal diantaranya adalah fatwa haram terhadap bunga Bank yang menimbulkan pro-kontra, belum lagi sistem demokrasi dan pemilu yang diantara umat Islam sendiri masih ada tarik ulur antara pendapat ‘Islam Yes, Partai Islam Yes!’ atau ‘Islam Yes, Partai Islam No!’. Bahkan sistem ekonomi Islam sendiri ternyata masih banyak saudara-saudara kita yang kurang setuju. Pernah saya browsing di internet lihat-lihat situs dari harokah lain yang secara halus menyindir harokah tertentu yang menerapkan ekonomi Islam dan terjun dalam politik praktis, mereka berpendapat jika ada Bank Islam dan Partai Islam maka suatu ketika pula akan muncul Beer Islam dan Diskotic islam.



Kesimpulan

Dari uraian di atas walaupun cukup singkat setidaknya bisa kita ambil beberapa kesimpulan, bahwasanya system Kapitalis-Liberalis yang sampai saat ini masih eksis dalam perkembangan segala aspek kehidupan dunia ternyata juga masih menghinggapi benak saudara-saudara kita sendiri sesama muslim. Dan ternyata kita sendiripun nampaknya masih gamang untuk sekedar berteriak lantang, untuk mengatakan betapa sistem dan ideologi Kapitalis-Liberalis sebenarnya sudah terlalu usang kalau tidak mau dikatakan primitif dan ketinggalan jaman. Tapi kelihatannya paradigma berpikir kebanyakan orang masih sukar diubah, atau bisa jadi kita justeru masih ragu untuk meninggalkan ideologi yang sudah usang itu untuk menjadi muslim yang kaffah.

Akhirnya saya dalam tulisan yang singkat ini hanya mampu memberikan sedikit masukan, bahwa kita perlu merintis sebuah langkah nyata untuk menggantikan ideologi Kapitalis-Liberalis yang sudah berurat-berakar di Negara Indonesia ini. Memasyarakatkan ekonomi Syari’ah dan menunjukkan perilaku politik yang baik sebagai aktivis politik muslim adalah beberapa diantaranya. Hanya diskusi dan berwacana saja tidak akan menyelesaikan masalah, tanpa adanya suatu langkah yang nyata dan efisien.

Posted by azay on 08.40. Filed under . You can follow any responses to this entry through the RSS 2.0. Feel free to leave a response

0 komentar for "KAPITALISME-LIBERALISME DALAM PANDANGAN ISLAM"

Leave a reply

Blog Archive

Recently Commented

Recently Added